“MA memberi akses untuk kita memberikan PK dari putusan yang mereka keluarkan atau yurisprudensi. Ke depan kami akan tetap ajukan PK karena jaksa mewakili kepentingan korban kejahatan dan negara”
Jakarta – Kendati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah melarang Kejaksaan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK), Jaksa Agung Prasetyo bergeming dan mengatakan bahwa berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA), pihaknya akan tetap mengajukan proses hukum itu karena Jaksa mewakili kepentingan korban dan negara. Padahal,
“Kami akan tetap ajukan PK bila dirasa perlu,” kata Prasetyo saat rapat Komisi III di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (6/6/2016).
“MA memberi akses untuk kita memberikan PK dari putusan yang mereka keluarkan atau yurisprudensi. Ke depan kami akan tetap ajukan PK karena jaksa mewakili kepentingan korban kejahatan dan negara,”
Putusan itu diketok saat MK mengabulkan permohonan Anna Boentaran yang menggugat KUHAP. Anna merupakan istri terpidana korupsi Djoko S Tjandra yang hingga kini statusnya masih buron.
Prasetyo menambahkan, terkait hal tersebut dirinya sudah berkomunikasi dengan MK.
“Saya telepon langsung MK tanyakan kenapa menyatakan jaksa tak bisa mengajukan PK. Konon jawabannya adalah untuk melindungi keadilan bagi terpidana,” ujarnya.
“Saya sampaikan bahwa pencari keadilan bukan hanya pelaku kejahatan tapi juga korban kejahatan,” lanjut Prasetyo.
Prasetyo berharap Komisi III mempertimbangkan kewenangan jaksa untuk mengajukan PK ini saat pembahasan revisi UU KUHAP.
“Kami mohon dengan sangat ketika membahas revisi KUHAP, tetap bisa mendukung kami agar jaksa tetap bisa mengajukan PK. Demi terciptanya keseimbangan,” ujar Prasetyo.
Seperti diketahui, Anna mengajukan permohonan penafsiran MK terkait Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Pasal itu berbunyi: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.
Permohonan itu ternyata dikabulkan. Dalam putusannya, MK menyatakan: “Pasal 263 ayat 1 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo,” sebagaimana dikutip dari website MK, Jumat (13/5/2016).
Dengan putusan itu maka Pasal 263 ayat 1 haruslah dimaknai bahwa jaksa tidak berwenang mengajukan PK. Sebab, hal itu bisa menimbulkan dua pelanggaran prinsip PK yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek PK. Subjek PK adalah terpidana atau ahli warisnya dan objek adalah putusan di luar putusan bebas atau lepas.
“Apabila memberikan hak kepada jaksa untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) tentu menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus tidak berkeadilan,” begitu putusan MK.