Kamis, 28 September 23

“Jakarta, Jendela Etalase Indonesia Tanpa SARA?”

Kontestasi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta kian diwarnai oleh isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Hal ini paling tidak disebabkan oleh dua hal utama: adanya calon gubernur non-muslim, serta dugaan penistaan agama. Keduanya bersumber pada nama yang sama yaitu Basuki Tjahaya Purnama atau yang akrab dipanggil Ahok.

Ahok sudah menyadari kekeliruannya, dan secara terbuka meminta maaf pada pihak-pihak yang merasa tersinggung. Kasus ini pun sedang ditangani oleh pihak kepolisian.

Namun mengapa masih ada sekelompok orang yang terus memperkarakan kasus tersebut? Bagaimana sebenarnya tingkat toleransi warga Jakarta? Benarkah ini hanya sekedar alat politik bagi salah satu pendukung kandidat untuk memenangkan Pilgub?

Populi Center bekerja sama dengan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Ilmu (P2P LIPI) dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) menggelar diskusi Perspektif Jakarta dengan tema “Jakarta, Jendela Etalase Tanpa SARA?” di kantor LIPI, Jumat (27/10/2016. Hadir sebagai pembicara antara lain Adriana Elisabeth (Peneliti P2P LIPI), Bonar Tigor Naipospos (Wakil Ketua Setara Institute), Hikmat Budiman (Ketua Yayasan Interseksi) dan Usep S Ahyar (Direktur Populi Center).

Bagi Adriana Elisabeth, munculnya isu SARA yang mewarnai dinamika Pilgub tidak terlepas dari kegagalan partai-partai politik dalam mengedukasi masyarakat. Pemilihan kepala daerah hanya dimaknai sebagai ajang perebutan kekuasaan semata, tanpa dilandasi oleh standar dan etika bersama di alangan elit politik tentang cara bersaing merebut kekuasaan.

“Dalam berdemokrasi diperlukan logika yang sehat. Persaingan seharusnya tidak dilakukan dengan upaya-upaya ‘membunuh’, melainkan secara terukur, berdasarkan fakta”, kata peneliti senior LIPI tersebut.

Sementara Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute menyebutkan bahwa dalam masyarakat yang heterogen, munculnya isu SARA tidak terhindarkan. Persoalan keyakinan atau nilai-nilai agama yang tadinya bersifat privat kemudian muncul ke publik, tidak semuanya jelek bagi nilai keyakinan atau nilai agama lain. Ia mencotohkan adanya Bank Syariah dimana yang menjadi nasabah bukan hanya kalangan muslim, melainkan semua pemeluk agama.

Pria yang biasa dipanggil Coki ini mengaku lembaganya pernah melakukan riset yang menunjukkan bahwa tingkat toleransi beragama di Jakarta sebenarnya baik.

“Kami tanyakan pertanyaan-pertanyaan penting, seperti: Apakah anda bertetangga dengan baik dengan orang yang berbeda agama?; Apakah anda mau bekerja sama dengan orang agama lain?; dan apakah anda keberatan jika dibangun rumah ibadah lain di sekitar rumah anda? Hasilnya positif,” katanya.

Hal itu, sambungnya, menunjukkan bahwa warga Jakarta sebenarnya tidak ada masalah dengan perbedaan suku dan agama. Oleh karena itu, munculnya isu SARA dalam Pilgub DKI ditengarai merupakan ulah oknum pendukung salah satu calon.

“Ini juga menunjukkan bahwa partai-partai politik kita hari ini tidak terlalu suka beradu ide atau gagasan dalam membangun Jakarta. Kalaupun ada, sifatnya tidak lebih dari sekedar retorika”, ujarnya.

Menanggapi dua pembicara sebelumnya, Hikmat Budiman dari Yayasan Interseksi menyatakan, kini batasan tentang ruang privat dan ruang publik semakin kabur. Hal ini tidak lepas dari perubahan sosial yang berjalan sangat cepat, terutama kemajuan teknologi informasi. Meskipun para elit politik berhasil menyepakati sebuah batasan tentang cara-cara bersaing yang sehat, namun isu-isu politik akan tetap masuk ke ruang privat.

“Bising soal SARA di media sosial misalnya, bisa saja dilakukan oleh orang luar Jakarta yang nyaris tidak berkepentingan dengan proses pemilihan, yang kemudian kita akses ketika kita sedang makan, menjelang tidur, atau beristirahat di rumah” ujarnya.

Sementara di dunia nyata, ia mengaku heran dengan dominannya isu agama yang mewarnai Pilgub DKI. “Coba kita pikirkan baik-baik mana yang lebih menghantui kita, persoalan latar belakang calon gubernur, atau ancaman yang harus kita hadapi sehari-hari seperti masalah macet, banjir, kemiskinan, dan lain-lain,” katanya.

Terkait kelompok-kelompok yang melakukan demonstrasi di Kantor Gubernur Jakarta beberapa waktu lalu, ia menyatakan bahwa ini bukanlah persoalan mayoritas dan minoritas. Dalam konteks besar, ia termasuk yang tidak percaya bahwa ada konflik antara minoritas-mayoritas.

“Yang terjadi adalah konflik antara sebuah sub kelompok dalam sebuah kelompok besar. Sebagian kecil dalam sebah kelompok besar menggunakan cara-cara yang tidak disepakati bersama untuk memperlakukan pihak diluar kelompoknya, baik yang kecil mau pun besar,” tuturnya.

Ini didasarkan pada tidak adanya pasangan cagub-cawagub yang benar-benar disokong oleh kelompok yang mengedepankan identitas islam sebagai agama mayoritas. Meskipun ada partai-partai islam di belakangnya, namun poros utama partai pendukung setiap calon ialah bercorak nasionalis.

Sementara itu Direktur Populi Center Usep S Ahyar menyatakan, secara teoritis memang terdapat pemilih yang mengedepankan politik identitasnya, seperti kesamaan suku, agama, latar belakang bahkan kelas sosial. Meskipun begitu, berdasarkan riset Populi Center terbaru, pemilih Jakarta mayoritas merupakan pemilih rasional.

“Hanya 5% yang memilih calon karena kesamaan agama. Kebanyakan karena faktor rasional seperti janji politik, visi-misi, dan rekam jejak. Kriteria gubernur yang diinginkan kebanyakan warga Jakarta ialah ‘bersih dari korupsi’ dalam urutan teratas. Sementara kriteria ‘agamis’ atau ‘santun’ cuma berada di posisi 5 dan 6,” terangnya.

Di sesi penutup, moderator Ade Ghozaly menangkap poin umum yang mengemuka dari setiap narasumber, yaitu bahwa kemunculan isu SARA hanyalah saat ketika menjelang proses elektoral.

“Oleh karena itu, sudah menjadi tugas aktor-aktor politik utama untuk mengedukasi masyarakat bahwa proses pemilihan dalam demokrasi hanyalah persoalan day to day yang biasa saja, bukan persoalan hidup-mati seseorang atau sebuah kelompok,” pungkas Ade.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait