Pada tahun 1960, Singapura luasnya cuma 580 km2. Perdana Menteri Lee Kuan Yew kemudian mempunyai program memperluas pulau melalui reklamasi sampai tahun 2030. Kini negara kota itu luasnya 760 km2. Dari mana pasir dan material lainnya untuk menguruk dan menambah luas Singapura? Tak lain berasal dari tetangga terdekatnya yaitu Indonesia. Tak salah kiranya jika suatu sat kita berlibur di Singapura, kita bisa mengklaim bahwa Singapura adalah Tanah Air kita juga. Sebab, sebagaian material pulau itu datang dari Indonesia.
Lee Kuan Yew mempunyai visi ke depan. Ia menyadari keterbatasan luas wilayah negerinya. Karena itu melakukan reklamasi untuk membangun Bandar Udara Changi dan bangunan lainnya merupakan jalan terbaik. Atas visi ke depan Lee Kuan Yew, beberapa pulau di Indonesia tergerus. Pulau Nipah hampir tenggelam, karena pasirnya dikeruk dan dijual ke Singapura. Pendek kata, Singapura memperluas pulaunya, pada saat yang sama mempersempit wilayah Indonesia. Betapa baiknya Indonesia.
Nun jauh di Uni Emirat Arab, ada seorang Pangeran Mahkota bernama Hamdan bin Mohammed bin Rashid Al Maktoum. Dialah yang menyulap kota Dubai dari kota tak menarik menjadi salah satu kota termewah di dunia. Sang Pangeran bervisi ke depan itu berpikir bahwa minyak tak akan terus mengalir dari perut bumi UEA. Harus ada alternatif. Maka, sektor pariwisata dipacu menggantikan minyak. Namun, tak ada orang datang ke Dubai hanya untuk melihat padang pasir. Karena itu Dubai harus disulap menjadi kota dengan menyandang banyak ter di dunia. Muncullah, gedung tertinggi di dunia, mal terbesar di dunia, hotel termahal di dunia, salju di negeri gurun, dan reklamasi pulau-pulau buatan terindah di dunia.
Ide gila Hamdan bin Mohammed bin Rashid Al Maktoum menuai hasil. Kini Dubai menjadi kota di kawasan Timur Tengah yang diperhitungkan dunia. Saat ini banyak maskapai penerbangan dari Asia ke Eropa dan Afrika transit di Dubai. Bagi wisatawan umroh dari Indonesia, kini ada dua tawaran menarik, yaitu mampir ke Turki atau Dubai. Jumlah orang Indonesia yang melakukan umroh dari tahun ke tahun meningkat fantastis. Ini karena lama menunggu ibadah haji sekitar 10 tahun. Tahun ini diperkirakan 4 juta orang Indonesia melakukan ibadah umroh sambil berwisata ke Dubai atau Turki, siapa tahu bertemu bintang Uttaran.
Kini mari kita kembali ke Tanah Air. Sebelum ramai-ramai reklamasi Teluk Jakarta, kehebohan lebih dulu di Teluk Benoa, Pulau Dewata. Tokoh di balik reklamasi Teluk Benoa bukan orang seperti Lee Kuan Yew atau Al Maktoum yang bervisi jauh ke depan. Ide itu datang dari pengembang properti. Ujung-ujungnya, kalau ditarik-tarik ya tak jauh dari bos Artha Graha Tommy Winata.
Namanya juga pengusaha, ia bisa melakukan apa saja, dan gubernur sampai presiden dia bikin tunduk setuju. Sang pengusaha juga bisa mendatangkan Cristiano Ronaldo ke Bali. CR7 bukan diajak main sepakbola tetapi menanam mangrove dan diangkat sebagai Duta Mangrove. Pengusaha papan atas itu juga bisa mempengaruhi presiden yang mau lengser untuk mengubah peruntukan Teluk Benoa dari kawasan konservasi menjadi kawasan yang bisa dimanfaatkan. Semua elemen masyarakat di Bali – dari aktivis lingkungan, mahasiswa, intelektual, agamawan, seniman termasuk band SID, kini menunggu ‘ keajaiban’ dari Presiden Jokowi.
Bali bukanlah Dubai. Bali adalah salah satu tempat wisata terbaik di dunia. Destinasi wisata alam dan budaya adalah yang utama. Jika pengembang membuat pulau lalu menjadikan pulau itu sebagai destinasi wisata seperti sirkuit balap mobil atau Disney Land, sebenarnya pengembang itu telah menghina alam Bali dan masyarakat Bali. Pulau indah ini tak kekurangan obyek wisata. Orang datang ke Bali untuk melihat alam yang indah dan budaya yang eksotik.
Ayo ke Teluk Jakarta. Siapa yang pertama mempunyai ide reklamasi Teluk Jakarta? Yang pasti orangnya tak se visioner Lee Kuan Yew atau Al Maktoum. Tak ada urgensinya reklamasi untuk memperluas Jakarta sebagai Ibu Kota. Singapura sangat getol menambah daratan karena memang negeri itu kurang daratan. Jika Jakarta telah penuh sesak, kenapa tak mengembangkan di kota lain. Bukankah dulu pernah ada ide memindahkan Ibu Kota ke luar Jakarta? Beberapa negara telah sukses memindahkan Ibu Kota negara ke kota kecil yang lebih nyaman seperti Canberra, Australia, dan Putra Jaya, Malaysia.
Pendek kata, ide mereklamasi Teluk Jakarta bukanlah gagasan cemerlang seperti Singapura, karena Jakarta adalah bagian Indonesia yang luas. Mereklamasi Teluk Jakarta demi mempercantik Jakarta atau menambah daya dukung Jakarta sebagai Ibu Kota merupakan pemikiran yang tak visioner. Itu semua adalah akal-akalan pengusaha atau pengembang yang kerkolusi dengan pejabat pembuat keputusan yang justru membuat Jakarta lebih sesak dan makin tenggelam. Pengembang hanya mencari keuntungan, hanya sedikit yang memikirkan lingkungan. Mereka tak peduli Jakarta kian menderita.
Sekali lagi, Lee Kuan Yee menambah daratan Singapura karena memang membutuhkan, meski mengurbankan negera tetangga. Al Maktoum dari Dubai membuat pulau-pulau dan bangunan spektakuler lainnya demi menghalau ketergantungan terhadap minyak. Sementara pengembang Indonesia mereklamasi Teluk Benoa dan Teluk Jakarta demi keuntungan semata. Tak ada visi cemerlang ke depan. Karena Jakarta bukan Singapura dan Bali bukan Dubai.
Indonesia tetaplah Indonesia, tidak mungkin menjadi singapura ataupun Dubai. saya melihat dari sudut pandang sebagai pemimpin yang memiliki ide dan gagasan yang menurut saya visioner. ketika saya memiliki ide dan gagasan yang menurut saya benar, maka sebanyak orangpun yang tidak setuju dengan ide dan gagasan yang saya miliki, maka saya akan tetap mempertahankan ide dan gagasan yang saya miliki. Karena yang ingin saya tunjukkan adalah pembuktian bahwa apa yang saya miliki itu adalah benar dan orang-orang yang kontra hanya bisa terdiam karena telah melihat hasilnya.
terlepas dari masalah masyarakat nelayan pantai utara , pemerintah bukannya tidak memiliki solusi terbaik terhadap mereka.
Kenapa kita tidak mencontoh Singapura dan Dubai yang kita anggap berhasil dengan Reklamasimya?