Seniman mempunyai peran penting dalam setiap aktivisme sosial. Contoh keterlibatan seniman dalam advokasi PLTN Muria sampai Tolak Reklamasi Bali menunjukkan seniman menyatu dengan isu sosial dan bersama rakyat mengangkat isu tersebut lebih kreatif dan bersuara.
Itulah kesimpulan yang mengemuka dalam diskusi “Seni dan Aktivisme Sosial” dengan pembicara utama dari Taring Padi, Jumat, (22/4). Kegiatan ini adalah salah satu dari rangkaian acara di Jagongan Media Rakyat (JMR) 2016, 22-24 April 2016 di Jogja National Museum, Yogyakarta. JMR 2016 kali ini menampilkan 25 diskusi dan lokakarya, 11 pemutaran film, 10 panggung rakyat, 25 pameran komunitas, lomba foto, dolanan anak, , pasar komunitas, pasar buku, dan gerakan digital.
JMR adalah gelaran yang diinisiasi oleh COMBINE Resource Institution. Acara yang digelar setiap dua tahun sekal ini sudah mengunjak gelaran keempat, sejak 2010. JMR merupakan ruang pertemuan berbagai pihak untuk membahas isu-isu sosial kemasyarakatan dengan informasi sebagai mediumnya.
Dengan semangat berkumpul, berbagi, bergerak, para partisipan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perubahan sosial yang lebih baik.
JMR 2016 mengusung tema besar “Menganyam Inisiatif Komunitas”. Menjadi ruang antara yang mempertemukan berbagai komunitas dengan inisiatif-inisiatifnya. Di ruang itulah masing-masing komunitas saling berbagi pengalaman dalam merespons peluang dan tantangan yang ada. Di situ pula mereka kemudian saling menghubungkan diri menjadi bagian dari sebuah jaringan yang berselang-seling menganyam tujuan bersama.
Beberapa acara yang menarik antara lain: Rembug Prakarsa bertema “Menjelajahi inisiatif, menganyam kemandirian komunitas” yang menghadirkan Dandhy Dwi Laksono (jurnalis video, Ekspedisi Indonesia Biru, WatchDoc), M. Hatta (pegiat radio komunitas MGM FM Borobudur), Mila Rosinta (penari, koreografer profesional), dan John Bamba (Credit Union Gemalag Kemisiq). Acara ini diadakan pada Sabtu, 23 April 2016, jam 08.30-12.00.
Pada JMR 2016 ini dihadirkan Pasar Buku. Ada “Toko Budi” yang menjadi ruang dispaly sekaligus interaksi produk dan peaku buku alternatif di Yogyakarta yang jarang atau tidak ada di toko buku pada umumnya.
Pada Bioskop JMR, akan tampil sebelas film, antara lain “Anak Muda dan Budaya Papua” (EngageMedia), “Selamatkan Gunung Kendeng” (Jaringan Masyarakat Pegunungan Kendeng, JM-PPK), “Mana Akses kami” dan “Job (Un)Fair” dari ILO Yayasan Kampung Halaman.
Lalu ada juga Pasar Komunitas. Konsep pasar ini sangat lekat dengan pasar rakyat di Kota Yogyakarta dimana interaksi penjual dan pembeli bisa terkomunikasikan dengan baik tanpa jarak. Tata letak barang dagangan dan media yang digunakan dalam Pasar Jongkok ini juga sederhana sebagaimana sebuah pasar rakyat. Workshop zine dan berbagai workshop kreatif lainnya akan hadir untuk membuat interaksi dan ruang komunikasi lebih akrab.
SURVIVE!Garage kolaborator Pasar Komunitas, menggandeng komunitas-komunitas seperti Taring Padi, Needle n Bitch, PALU, Project Merchandise, Komunitas Garis Bawah, Garda Belakang, Setara Equalita, Yellow Teeth, Ulir, Menara Project, dan Tamimi. Mereka akan menganyam inisiatif dengan mempresentasikan pengalaman dan capaian, mulai dari membuka “bengkel karya”, penjualan barang tertentu, hingga kuliner dalam pengelolaan media untuk isu/kepentingan yang dikelola kepada publik.
Pasar Komunitas menekankan konsep sehat bagi pengunjung dan lingkungan. Pengunjung dan penjual pasar ini wajib membuang sampah yang telah dipilah berdasarkan jennisnya di tempat yang telah disediakan.
Bagi penjual yang kedapatan membiarkan sampah berserakan di lapaknya akan dikenakan sanksi denda. Hal tersebut merupakan salah satu wujud kepedulian menjaga lingkungan dalam Pasar Komunitas ini.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.