Sabtu, 2 Desember 23

Ismail Hasani: Simposium Nasional Tragedi 1965 Harus Mampu Mengungkap Kebenaran

Jakarta – Direktur Riset SETARA Institute Ismail Hasani mengatakan, sebagai sebuah forum untuk mendiskusikan hal yang selama ini dianggap tabu, Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Jakarta, 18-19 April 2016, merupakan sebuah kemajuan. Namun hal terpenting adalah motifnya tidak boleh dibelokkan untuk memaksakan kehendak rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran.

“Setidaknya, simposium itu berguna untuk menyuarakan suara yang selama ini tidak bisa didengar,” ujarnya.

Mengenai pendekatan sejarah yang digunakan dalam simposium itu, Ismail mengatakan tidak mempermasalahkannya. Ia hanya khawatir kegiatan itu dimuati oleh kepentingan tertentu yang selama ini justru menghambat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Saya tidak mengkritik pendekatannya. Tapi saya mencemaskan potensi dan motif politik untuk memperkuat impunitas atas kejahatan HAM masa lalu,” ungkapnya.

Menurut Ismail, kecenderungan ke arah itu dapat terbaca dari sikap pemerintah yang selama ini mendorong adanya rekonsiliasi tanpa pengungkapan (kebenaran), sebagaimana digagas oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Luhut B. Panjaitan dan Jaksa Agung RI Pratikno.

Ismail berharap bahwa hasil simposium nantinya akan memperkaya masukan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) kepada presiden. Sehingga presiden punya pijakan kebijakan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi pasca 1965.

“Kita bolehlah berharap agar Wantimpres bisa beri pertimbangan lain ke Jokowi,” ujar Ismail.

Peristiwa 1965 selama ini memang menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM berat dan terbesar dalam sejarah Indonesia. Tumbangnya rezim Orde Baru yang mewujud usai tragedi tersebut, faktanya belum membawa kemajuan berarti bagi upaya pengungkapan maupun penyelesaiannya.

Bahkan, gagasan untuk mengungkap seluruh fakta dibalik peristiwa itu seringkali mendapat hambatan politis dan sosiologis, baik dari pemerintah maupun sebagian kalangan masyarakat.

Peristiwa pembubaran paksa Lokakarya Pelanggaran HAM 1965 oleh berbagai organisasi massa anti demokrasi di Cianjur, Kamis (14/4), merupakan contoh kasus teranyar adanya kendala tersebut, dimana setiap kegiatan yang bersenarai dengan pengungkapan peristiwa 1965 acap kali berujung pembubaran dan aksi sepihak.

Sebagaimana diketahui, kegiatan lokakarya yang digagas oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP), itu bertujuan menyatukan pendapat para penyintas 1965 untuk dibawa ke Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, 18-19 April 2016 itu.

Korban maupun kalangan pegiat HAM, selama ini tidak menolak mekanisme rekonsiliasi maupun proses hukum nonyudisial, tetapi hal itu tidak berarti harus menegasikan penegakkan proses hukum dan pengungkapan kebenaran.

Karena, bagian paling penting dari pemecahan masalah kejahatan HAM adalah pengungkapan kebenaran tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan motif politik di balik kejadian pelanggaran HAM berat tersebut.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait