Rabu, 22 Maret 23

Intelijen dan Wacana Pembubaran HTI

Rencana pembubaran  HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sedang ramai menjadi perbincangan publik. Pro dan kontra kemudian muncul, para aktivis pro-demokrasi juga terbelah menyikapi rencana pembubaran HTI tersebut. Pembubaran HTI dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) yang lain.

Sejarah seperti berulang. Ketika masih berkuasa, Presiden Soekarno pernah mengeluarkan UU Anti Subversif. Ironisnya UU ini dimanfaatkan oleh penguasa berikutnya, yakni Jenderal Soeharto, untuk memberangus ormas-ormas yang masih setia pada Soekarno. Dalam kasus rencana pembubaran HTI, tentu rezim Presiden Jokowi sudah memiliki pertimbangan yang matang, disertai sejumlah dokumen pendukung. Tentu kita bisa menduga, sebagian dokumen adalah produk aparat intelijen.

Jangan Menyentuh 

Peran lembaga intelijen jarang dibicarakan dalam kebisingan politik di Jakarta hari-hari ini. Hal itu justru positif, artinya mereka berhasil dalam mengemban misinya. Memang begitulah prinsip kerja aparat intelijen, bekerja dalam senyap. Sebagaimana pernah dikatakan Letjen (Purn) Sutopo Yuwono (Kepala Bakin 1970-1974): petugas intelijen tidak usah main pukul atau main tangkap (Kompas, 20/02/1998).

Pernyataan Sutopo Yuwono harus kita baca, idealnya aparat intelijen lebih mengedepankan persuasif dalam mengumpulkan informasi dari masyarakat. Jadi tidak perlu menyentuh sasaran, apalagi dengan tindak kekerasan. Pernyataan Sutopo tidak bisa dilepaskan dari konteks waktu. Pernyataan itu disampaikan pada hari-hari terakhir rezim Orde Baru, jadi ini semacam sindiran bagi aparat intelijen di masa Orde Baru, terutama apa yang dilakukan Opsus (Operasi Khusus) di bawah Ali Moertopo dulu.

Satu metode lagi yang sangat valid dalam memperoleh informasi dari masyarakat, adalah melalui penyamaran. Metode ini yang biasa dilakukan oleh intel kepolisian sejak dulu, sejak lembaganya masih bernama Pengawas Aliran Masyarakat, DPKN (Dinas Pengawas Keselamatan Negara), hingga Intelpam Polri, dan kini dikenal sebagai Baintelkam Polri. Cara kedua adalah dengan “menanam” atau menyebar aparat intelijen di lembaga dan ormas manapun, termasuk HTI.

Dalam upaya pengumpulan informasi terkait kegiatan HTI,  metode penyamaran dan menanam orang, sudah dilaksanakan aparat intelijen, sehingga informasi dan data yang diperoleh benar-benar akurat. Dari informasi intelijen tersebut, pimpinan (baca: pemerintah) nantinya bisa mengambil sikap, menentukan langkah berikutnya,  soal eksistensi HTI. Ketika Menkopolhukam Wiranto mengumumkan rencana pembubaran HTI tempo hari, tentu pihak Menkopolhukam sudah memiliki data pendukung yang memadai.

Metode “menanam” juga terbukti ampuh dalam mengungkap jaringan teroris, hingga terdeteksi bagaimana rencana operasi dan dari faksi mana. Ini mengingat ternyata kelompok teroris itu tidak satu komando. Metode menanam ini tentunya sudah dilakukan pada ormas radikal lainnya seperti FPI dan FUI (Forum Umat Islam). Dengan demikian bila dibutuhkan, sebundel naskah informasi — terkait FPI atau ormas lainnya — sudah siap.

Secara ringkas bisa dikatakan, bahwa lembaga intelijen, baik yang sipil (BIN), maupun di bawah TNI atau Polri, diharapkan mampu mendeteksi dini setiap bahaya yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam bahasa umum, bahaya adalah kejadian (kondisi) yang apabila dibiarkan berpotensi menjadi gangguan, sedangkan gangguan adalah sudah tahap berbahaya. Cara bertindak juga berbeda, bahaya ditangani dengan preventif, yang menjadi domain lembaga intelijen.

Sekadar ilustrasi, saling serang antara dua kelompok berdasar ikatan primordial, adalah gangguan. Sedang ceramah di rumah ibadah yang membahas agama atau keyakinan lain, merupakan bahaya. Agar bahaya tidak naik ke tahap gangguan, satuan intelijen memberikan informasi pada satuan atau dinas lain untuk ditindaklanjuti, seperti Sabhara, Brimob atau reserse,  bila di bawah Polri, yang memang memiliki wewenang represif.

Model Opsus

Sebagaimana disebut sekilas di atas, bahwa Sutopo Yuwono menyindir gaya Opsus, yang acapkali menggunakan cara kekerasan dan intimidasi, dalam menghimpun informasi dari masyarakat. Sutopo memang sempat kesal pada Ali Moertopo selaku pimpinan Opsus, ini karena posisi Opsus yang mendua. Opsus mengklaim dirinya sebagai lembaga intelijen, namun merangkap pula sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam praktik politik keseharian. Dalam pandangan Sutopo Yuwono, cara kerja sepert ini rancu.

Perlu dijelaskan sedikit, sumber kekesalan Sutopo Yuwono pada Ali Moertopo adalah, karena Ali (bersama Opsus) dianggap bermain sendiri, tidak pernah berkoordinasi dengan Sutopo Yuwono selaku Kepala Bakin. Sementara jabatan resmi Ali Moertopo adalah Deputi Bakin. Ali beralasan, dia langsung melapor pada Presiden Soeharto. Begitulah situasinya, menjadi kacau, kalau lembaga intelijen juga terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Salah satu proyek politik Opsus dulu adalah melakukan penggalangan atau rekayasa terhadap kelompok yang dikategorikan Islam garis keras, yang tujuan akhirnya untuk melemahkan kelompok itu sendiri. Apa yang kita lihat sekarang, soal maraknya perkembangan ormas Islam garis keras, tentu ada aktor intelektual di belakangnya, seperti dulu Opsus pernah mendalangi keberadaaan Komando Jihad. Hanya yang sekarang ini belum jelas benar siapa “dalang” di belakangnya. Kelak waktu yang akan menjawabnya.

Rekayasa peristiwa dan pembentukan opini gaya Opsus, telah menjadi genre tersendiri dalam politik Indonesia. Opsus dulu terkenal dengan jaringannya yang sangat kuat, dan tentu sebagian jaringan itu masih aktif sampai sekarang. Opsus dulu merekayasa berbagai kasus, sebagai intimadasi pada kelompok atau pihak yang berpotensi melawan Soeharto. Bagi Indonesia hari ini, model operasi intelijen seperti Opsus tidak lagi relevan dengan kehendak zaman.

 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait