Kamis, 7 Desember 23

“Intel Kok Pengumuman”

Aksi pamer surat keputusan pengangkatan sebagai anggota bidang politik Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) Badan Intelijen Negara (BIN) yang dilakukan Banyu Biru di media sosial ramai dibicarakan publik. BIN diminta memberi sanksi tegas kepada Banyu Biru yang telah melakukan kecerobohan.

Sungguh tak dapat dipercaya ada intel kok pengumuman. Seorang petugas intelijen itu wajib menjaga kerahasiaan identitasnya. BIN adalah lembaga yang diberikan wewenang untuk mencuri informasi yang dibutuhkan bagi negara, sepanjang tidak diketahui.

Banyu Biru mungkin tak menyadari sebagai artis kebiasaan selfie dan narsisnya ternyata berbuah dibully di medsos. Ia ibarat selfie di tangga, lalu terjatuh dan kejatuhan tangga pula. Maksudnya sih mau pamer. Nih saya sekarang bagian dari BIN. Seorang kawan saya Priya Husada menulis lelucon di status Facebooknya yang sangat tepat untuk Banyu Biru:

Ternyata dalam hal menerapkan kerahasiaan dalam tugas, intelijen Indonesia-lah yang menerapkannya pada level yang paling ketat.
Di Inggris, agen MI6 biro yang satu tidak mengetahui apa yang dikerjakan oleh agen MI6 dari biro lainnya.
Di Israel, agen Mossad satgas yang satu tidak mengetahui apa yang dikerjakan rekannya dari satgas lain.
Di Amrik, agen CIA bahkan tidak tahu apa yang dikerjakan sesama agen di sebelahnya.
Tapi itu belum apa-apa dibanding agen indonesia. Di sini seorang intel tidak tahu apa yang dia kerjakan.

Kritik terhadap intel Indonesia yang sering diistilahkan dengan “Intel Melayu” sejak dulu telah disuarakan. KH. Abdurrahman Wahid dalam sebuah diskusi bertema “Mengintip Demokrasi Melalui Lobang Humor” di Taman Ismail Marzuki (TIM) 1992  yang diadakan Yayasan Pijar dan Lembaga Humor Indonesia (LHI), mengatakan, “Di antara yang hadir di sini ada tokoh yang paling lucu yaitu intel. Lihat di sekeling kita. Mereka yang bajunya batik rapi, sepatunya hitam rapi, tapi kaos kakinya pembagian….”

Gus Dur juga pernah punya pengalaman dengan intel. Saat Gus Dur masih di Forum Demokrasi (Fordem) bukan forum dekat Marsillam, ia dan rombongan mengadakan perjalanan ke Jawa Tengah. Ketika Gus Dur sedang  transit di stasiun kereta api Purwokerto, tiba-tiba petugas stasiun  mengumumkan lewat pengeras suara, “Mohon perhatiannya sebentar lagi rombongan intel dari Jakarta akan tiba.” Sontak Gus Dur yang diinteli tertawa terbahak-bahak. “Intel kok pengumuman….” ujar Gus Dur sambil terkekeh di acara pertemuan Reboan Fordem pertengahan 1990an.

Saya sendiri juga mempunyai pengalaman berhadapan dengan intel melayu di berbagai kegiatan, baik saat aksi maupun diskusi di Jakarta. Jika intel mengikuti diskusi biasanya ia pura-pura menjadi jurnalis. Kami waktu itu menyebut para intel itu sebagai wartawan “Kremlin Pos” atau “Suara Kremlin”. Kremlin adalah singkatan dari Kramat Lima atau jalan Kramat V. Di situ ada markas intel Angkatan Darat. Beberapa aktivis pernah merasakan “ngerinya” diperiksa atau ditahan di situ, misalnya aktivis Hendrik “Iblis” Sirait dan Bambang “Beathor” Suryadi.

Tentang intel yang menyamar sebagai jurnalis ini ada netizen yang mengolok-olok para intel melayu:

Freelance
Seorang intel baru menghadiri Konperensi Pers di LBH Jakarta. Ia menyamar sebagai jurnalis. Saat tanya jawab beberapa wartawan menyebut dari media masing-masing. “Saya dari Kompas .” Lalu ada dari Suara Pembaruan dan Tempo. Terakhir ada jurnalis bertanya, “Saya wartawan feelance…..”
Usai acara intel anyar itu melapor ke komandan. “Lapor ndan, tadi di LBH ada koran baru.”
“Koran apa?” tanya komandan. “Freelance..!” jawab si intel santai.

Sekitar tahun 1997an di Teater Utan Kayu (TUK) Jakarta Timur diadakan diskusi dengan pembicara Frans Magnis Suseno dan moderator Nugraha Katjasungkana. Bisa dibayangkan menjelang Soeharto jatuh setiap diskusi politik pasti penuh pengunjung. Ruang pertemuan TUK yang sempit membuat beberapa peserta harus duduk di lantai. Sijo Sudarsono, salah satu pengelola TUK duduk di samping tentara dari Koramil terdekat lengkap berseragam.  “Saya ditugaskan komandan untuk melihat suasana saja mas,” katanya. Tentara (bagian intel) itu mengeluarkan notes dan bertanya siapa yang ceramah. Sijo menunjukkan brosur padanya. Intel berseragam itu mencatat: “Pembicara: Frans Magnis (asing) dan Suseno (lokal) ,” Dengan catatan itu nama Nug tidak masuk daftar atau file Koramil.

Saat masih menjadi mahasiswa dan sering membuat aksi di kampus bersama aktivis mahasiswa di IKIP Jakarta (UNJ) saya bisa memastikan kehadiran intel dengan melihat nomor kendaraan yang di parkir. Jika ada mobil, biasanya jenis jeep dengan nomor polisi yang di belakangnya BD atau BP, dipastikan ada intel masuk kampus. B 1234 BD misalnya adalah kendaraan intel dari Angkatan Darat, sedangkan BP adalah intel polisi. Saya tidak tahu apakah nomor polisi semacam ini sekarang masih berlaku.

Intel yang bertugas di IKIP Jakarta lain lagi. Selain diberi tugas mengamat-amati gerakan mahasiswa juga diperintahkan melakukan disinformasi di kampus atau ke keluarga mahasiswa. Suatu saat menjelang mahasiswa melakukan aksi di kampus mereka membuat selebaran yang menyesatkan misalnya menuduh seorang tokoh mahasiswa adalah PKI. Yang lebih gila, intel di IKIP Rawamangun bahkan menghubungi orang tua si aktivis mahasiswa (yang kebetulan tentara) lalu mengabarkan  ke mahasiswa bahwa salah satu keluarganya di kampung meninggal dunia. Dengan cara ini diharapkan salah satu panitia aksi tak hadir. Namun cara ini gagal, karena tak mempengaruhi aksi. Hanya saja ada sesi berdoa untuk saudara / keluarga mahasiswa yang “meninggal”.

Saat saya aktif di Pijar Indonesia , kami mengenal dua intel Kremlin yaitu Salimin dan Kardiman. Dua intel ini sangat gaul, pandai bergurau, dan penyabar. Mungkin mereka dididik demikian. Anehnya dua intel ini selain sering bertanya kepada para aktivis Pijar tentang kegiatan apa yang akan dilakukan, juga sering memberi informasi tentang apa yang akan terjadi di Jakarta. Dan informasi dari mereka selalu A1 alias akurat dan berkualitas. Suatu saat pada 1993, almarhum Nuku Soleman di pagi hari siap-siap akan aksi di DPR, ketika itu sedang ramai isu anti SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Kardiman mengingatkan agar Nuku mengurungkan niatnya ke DPR karena siang ini akan ada penangkapan oleh aparat. Namanya juga Nuku, aktivis yang keras kepala. Nuku tetap ke DPR bahkan membawa sejumlah stiker fenomenal saat itu SDSB (Soeharto Dalang Segala Bencana). Nuku akhirnya ditangkap.

Kembali soal Banyu Biru, kini kabarnya ia telah dipecat oleh Kepala BIN Sutiyoso. Putra seniman cum politisi Eros Djarot, bukan anak Djarot Saiful Hidayat, seperti pernah ditulis Republika.com, itu sebaiknya kembali ke dunia selebritas yang penuh sorak dan tepuk tangan. Banyu Biru habitatnya di dunia artis, tak cocok dengan dunia telik sandi yang nyaris tanpa publikasi dan selfie

Kejadian Banyu Biru ini mengingatkan saya pada sebuah film dari Inggris Johnny English. Saya berharap setelah ia dipecat justru bisa tampil main film bareng pemain Mr Bean, seperti ditulis oleh seorang netizen.

He Knows No FEAR. He Knows No DANGER. He Knows NOTHING: Film Johnny English ketiga kabarnya akan dibuat di Indonesia. Johnny English adalah film komedi Inggris yang merupakan parodi dari James Bond. Dibintangi Rowan “Mr Bean” Atkinson sebagai agen Inggris yang tidak kompeten. Pada film seri ketiga ini, Rowan Atkinson akan didampingi bintang Indonesia yang kini juga anggota badan telik sandi. Aktor ini dipilih karena He Knows Nothing. Menyesuaikan dengan situasi di Indonesia, judul film ini kemungkinan Johnny English & Blue Water : “INTEL PASTI BERLALU.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait