Sabtu, 2 Desember 23

Inilah Penyebab Tumbuhnya Faham Radikalisme di BUMN

Fokus Wacana UI hari Rabu (26/6) mengadakan diskusi bertema Menakar Ekslusivisme dan Radikalisme di BUMN dan ASN. Lembaga kajian yang didirikan oleh figur-figur dengan latar belakang aktivis dan jurnalis alumni Pascasarjana UI ini, ingin menggali seberapa jauh faham ini masuk di lingkungan BUMN dan bagaimana upaya mencegah perkembangannya. Acara ini dibagi dalam 2 sesi dan dimoderatori oleh DP Yudha dan Satrio Arismunandar.

Bob R Randilawe salah satu presidium dari Fokus Wacana UI dalam pengantarnya mengingatkan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang baru-baru ini mencanangkan Gerakan “pembersihan” dilingkungan Kementerian Keuangan RI. Menurut Bob, Langkah Menkeu tersebut mendapat apresiasi publik karena dianggap sebagai sebuah terobosan yang dapat menjawab kekuatiran dan keresahan masyarakat luas terhadap fenomena keterpaparan kalangan birokrasi termasuk BUMN dari infiltrasi radikalisme.

“Faham radikalisme telah menciptakan keresahan bahkan telah menjadi permasalahan kebangsaan dan kenegaraan. Menkeu Sri Mulyani mengidentifikasikan mereka sebagai  ASN eksklusif” ujar Bob Randilawe yang juga dikenal sebagai aktivis 80 an.

Sedangkan BUMN dengan jumlah pegawai sebanyak 2 juta orang (ASN, Profesional dan outsourcing), menurut Bob, juga telah menjadi sasaran dan target kelompok penganut faham rasikal untuk dimanfaatkan sebagai “ATM”, dalam arti negatif. Ia menambahkan, kelompok ini juga telah menjadikan BUMN sebagai basis kaderisasi dan kekuatan massa untuk dikerahkan demi kepentingan politik.

“Itulah sebabnya kami menghadirkan Fadjroel Rachman dan Teddy Wibisana sebagai pembicara, selain Halili direktur riset Setara Institute. Halili akan memaparkan hasil penelitian Setara Institut, yang akan membuka seberapa jau ancaman radikalisme. Sedangkan Fadjroel dan Teddy, sebagai komisaris BUMN dengan latar belakang aktivis demokrasi, bisa memberikan potret yang lebih komprehensif mengenai infiltrasi radikalisme di BUMN,” ujar Bob.

Halili dalam kesempatan tersebut menjelaskan, bahwa infiltrasi radikalisme semakin meluas bahkan sudah masuk dikalangan pelajar. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, sikap intoleransi ada di 38,4 persen siswa SMA. Yang paling mencemaskan, ungkapnya, 0.3 persen diantaranya menyetujui tindakan teror atas nama agama.

Mengenai upaya penanganan radikalisme di BUMN, dosen ilmu sosial UNY Yogyakarta ini, mengusulkan adanya screening ideologi dari tingkat staf sampai direksi. Selain itu menurutnya, audit tematik dalam jabatan terkait ideologi perlu dilakukan.

“Penyaluran dana CSR juga perlu diperhatikan. Jangan sampai dana CSR BUMN disalurkan bagi kepompok-kelompok intoleran dan radikal. Undang-Undang kita secara tegas menyatakan seluruh aparatur negara harus setia pada Pancasila, UUD 45 dan NKRI ,” tegasnya.

Narasumber diskusi Fokus Wacana UI. Dari kiri ke kanan: Teddy Wibisana (Indofarma), Halili (Setara Institut), Moderator DP Yudha, dan Fadjroel Rachman (Adhi Karya)
Narasumber diskusi Fokus Wacana UI. Dari kiri ke kanan: Teddy Wibisana (Indofarma), Halili (Setara Institut), Moderator DP Yudha, dan Fadjroel Rachman (Adhi Karya)

Teddy Wibisana komisaris Indofarma, yang mendapat kesempatan berikutnya menjelaskan bahwa data dan informasi mengenai terpaparnya pegawai BUMN oleh faham radikalisme dapat dilihat dari hasil riset P3M. Ia menjelaskan riset itu dilakukan oleh P3M di 100 Mesjid yang ada di Kantor Kementerian, Lembaga tinggi negara dan BUMN. Hasilnya menunjukan bahwa 41 persen terpapar radikalisme. Ia menambahkan, khusus untuk BUMN hasilnya lebih besar lagi dimana 56 persen mesjid di BUMN terpapar radikalisme.

“Hasil riset itu bisa kita rasakan kebenarannya. Penceramah radikal dan yang terafiliasi secara dengan HTI dengan bebas mendapat panggung di masjid-masjid BUMN. Mereka kemudian batal berceramah bukan karena kesadaran panitia, tapi karena adanya tekanan publik.  Banyaknya karyawan BUMN yang terlibat pada aksi politik identitas juga menunjukan hal tersebut,” ujar aktivis pro demokrasi yang juga pernah menjabat direktur di kantor berita radio.

Teddy mengungkapkan, bahwa BNPT pernah mengumpulkan direksi BUMN, untuk melakukan sosialisasi tentang bahayanya faham radikalisme. Menurutnya, sosialisasi ini harus ditindaklanjuti oleh para direksi ke tingkat manager sampai staf.

“Tapi siapa yang bisa memastikan bahwa tindak lanjut itu dilakukan. Indikator performance direksi dan kesehatan BUMN itu dilihat dari profitabilitas. Menjaga semangat kebangsaan dan peduli pada kepentingan dan asset negara tidak masuk dalam KPI (Key Performance Index) direksi,” ujarnya.

Menjawab pertanyaan tentang penyebab terpaparnya BUMN oleh paham ini, ia berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kesadaran insan BUMN untuk menjaga kepentingan negara. “Profesionalitas dan laba, seolah hanya itu ukurannya. Kalau hanya itu yang mau jadi ukuran mengapa masih ada kasus korupsi. Mengapa BUMN banyak yang tidak efisien. BUMN ada asset negara didalamnya. Karakter kebangsaan tak boleh hilang. Yang harus hilang KKN nya,” urai Teddy.

Di kesempatan terakhir, Komisaris Utama Adhi Karya Fadjroel Rahman membuka penjelasannya dengan menceritakan peristiwa adanya karyawan Adhi Karya yang memaki Gus Mus dengan kata “ndas mu” saat ia tidak setuju terhadap pernyataan Gus Mus. Peristiwa itu menunjukan betapa agresifnya karyawan BUMN terhadap pikiran yang berbeda. Mengapa ideoligi radikalisme semakin marak, menurutnya karena semasa Orde Baru, ideologi disampaikan dengan model indoktrinasi. Hal ini menurutnya sangat tidak menarik dan terkesan memaksa.

Sebaliknya pasca redormasi ada kekosongan ideologi negara. “Di Perguruan Tinggi pun, sosialisasi terhadap Pancasila dilakukan dengan cara indoktrinasi, bukan dengan diskusi terbuka. Saya pun saat masuk ITB tidak mau mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila-red),” tukas Fadjroel

Setelah reformasi, Pancasila sebagai ideologi negara seolah menjadi tidak relevan. Dan disaat itu pula, lanjut Fadjroel ideologi khilafah justru mulai berkembang.

“Baru di masa Jokowi ini ideologi negara dikembalikan keberadaannya. Ia Presiden yang merasa Pancasila penting sebagai pedoman kehidupan berbangsa. Jokowi masih berkuasa sampai tahun 2024, kesempatan untuk membumikan Pancasila dengan cara yang tepat sesuai dengan perkembangan jaman, masih terbuka,” Pungkas Fadjroel.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait

1 KOMENTAR

  1. Faham Radicals, Extremism serta Exclusi
    sivism TIDAK Perlu Terjadi apabila para
    Executive di BUMN dan ASN benar-2 BER
    BUAT dan BERTANGGUNG Jawab hadirnya
    Faham yg Bertentangan dgn PANCASILA.
    Demikian juga Pera Menteri HARUS jadi
    Pengawas UTAMA dlm mencegah berkem
    bangnya Faham-2 yg bertentangan dgn
    PANCASILA sbg Faham Berbangsa dan
    Ber Negara,..!!