PERATURAN Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan disoal dalam aksi buruh pada peringatan May Day, Minggu (1/5/2016). Desakan pembatalan pun secara seragam diteriakan para buruh agar PP yang ditandatangani Presiden Jokowi 23 Oktober lalu dicabut.
“Kami menuntut pemerintah memberikan apa yang seharusnya diberikan seperti tertulis dalam PP No 78 tahun 2015. Sementara, faktanya buruh tidak lagi dilibatkan untuk melakukan perdebatan tentang masalah pengupahan,” Ketua SPN Kota Bogor, Budi Murdika.
Hal itu yang menjadi alasan SPN Kota Bogor menuntut pemerintah menghapus dan menolak PP No78 tahun 2015 tentang pengupahan.
“Kita secara nasional menuntut agar Jokowi-JK mencabut PP nomor 78 dan menolak formula yang hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Ia mengatakan, besaran nilai UMK itu tertuang melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/Kep.1322.Bangsos/2015 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Jawa Barat Tahun 2016 pada tanggal 20 November 2015 dengan menetapkan UMK Kota Bogor Rp3.022.756.
“Besaran UMK yang telah ditetapkan masih belum terpenuhi dari tuntutan kami yang meminta Rp. 3.300.000,” tuturnya.
Ketua DPC SPIN Kabupaten Bogor Edi Purwanto juga berkomentar senada. Menurut dia, pencabutan PP Nomor 78 tahun 2015 meryupakan harga mati.
“Kami menolak PP Nomor 78 tahun 2015 karena mengebiri hak buruh dalam bernegoisasi di tahun berjalan, padahal kenaikan UMK harus berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. PP ini juga tumpang tindih dengan keberadaan Dewan Pengupahan. Buat apa ada Dewan Pengupahan apabila PP itu tetap dipaksakan berjalan,” ujar Edi Purwanto.
Penolakan terhadap formula pengupahan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sebelumnya juga pernah disampaikan oleh sejumlah serikat buruh.
Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhammad Rusdi mengatakan, ada alasan yang kuat dibalik penolakan buruh terhadap PP Pengupahan. Menurutnya, beberapa pasal dalam PP tersebut dinilai bertentangan dengan peraturan di atasnya.
“Ada beberapa item dalam PP Pengupahan yang kami tolak. Item pertama yaitu pada pasal 44 PP Pengupahan yang menyatakan bahwa kenaikan upah berdasarkan formulasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi bertentangan dengan amanah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 88 ayat 4,” ujarnya.
Menurutnya, dalam ayat tersebut, menyatakan pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi serta produktifitas. Selanjutnya, item kedua, kenaikan upah berbasis formula tetap yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi telah menutup peran dewan pengupahan termasuk serikat pekerja yang ada di dalamnya.
“Hal tersebut bertentangan dengan pasal 89 ayat 3 yang menyatakan, upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dewan pengupahan. Selain itu, yang terjadi di lapangan, secara prinsip pengusaha akan menghindari adanya penetapan upah. Dalam PP Pengupahan ini penuh dengan kepentingan pengusaha,” tandasnya. (eko)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.