Tindak kekerasan terhadap pers kembali terjadi. Kali ini dialami oleh Reporter Desi Fitriani dan Kamerawan Ucha Fernandez (Metro TV), serta Dino dari Global TV, saat menjalankan tugas jurnalistiknya. Tindak kekerasan itu dialami mereka saat meliput Aksi 112. Jurnalis Metro TV dan Global TV tersebut, saat ini mengalami trauma dan luka-luka, akibat aksi kekerasan tersebut.
“Mereka (massa) mukul pake bambu dari atas, samping, lalu kita juga dilempar pake gelas air mineral” ungkap Desi Fitriani. Sementara kamerawan Metro TV Ucha, diludahi dan ditendang.
Dino, Global TV sempat di intimidasi karena dianggap tidak sopan menyebut Rizieq tanpa menggunakan kata Habib. “Saya dikerubungi massa dan dibilang gak sopan”.
Atas peristiwa tersebut, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dalam siaran pers yang kami terima, mengecam dan mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan sejumlah oknum peserta aksi terhadap jurnalis TV tersebut. IJTI dan Satgas Anti Kekerasan Dewan Pers akan melakukan advokasi dan penyelidikan atas tindakan yg dilakukan sejumlah oknum saat aksi damai.
Dalam siaran pers yang ditandatangani oleh Ketua IJTI Yadi Hendriana dan Sekjennya Indria Purnamahadi, IJTI melihat ada dua peristiwa hukum yang terjadi. Pertama menyangkut pemukulan adalah delik umum yang legal standingnya berada pada korban langsung bukan pada perusahaan. Kedua terkait penghalangan kerja sebagaimana diancam Pasal 18 ayat (1) UU Pers, hal ini mengacu pada Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) yang legal standingnya ada pada perusahaan pers.
IJTI mengimbau terhadap semua pihak, agar menghormati profesi jurnalis yang pada dasarnya dilindungi undang-undang. Dan kepada semua pihak jika merasa dirugikan atas pemberitaan, agar memproses melalui mekanisme yang berlaku, seperti menggunakan hak jawab, meminta koreksi, hingga mengadukan ke Dewan Pers. Di sisi lain, IJTI menghimbau agar jurnalis dan media, wajib menjaga independensinya, menjalankan tugasnya secara profesional, sesuai Kode Etik Jurnalistik. Mengenai peristiwa kekerasan yang terjadi, IJTI meminta agar pihak keaman melindungi para jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya, serta menindak tegas siapa saja yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis.
Keprihatinan atas kekerasan yang menimpa pekerja pers yang meliput aksi 112, juga diutarakan oleh Masinton Pasaribu. Anggota Komisi III DPR-RI meminta agar polisi bertindak tegas terhadap pelaku intimidasi dan pemukulan tersebut.
“Siapapun dia pelakunya harus cepat ditangkap dan dihukum maksimal. Nanti setiap orang akan dengan seenaknya mengintimidasi dan melakukan kekerasan terhadap petugas pers yang sedang melaksanakan tugas dan profesinya di lapangan,” ujar Masinton.
Apalagi, menurut Masinton, peristiwa intimidasi terhadap jurnalis oleh peserta aksi 112 ini, bukan yang pertama kali. Sebelumnya, masih menurut Masinton, saat meliput aksi 411 dan saat meliput aksi 212, intimidasi yang sama juga dialami oleh rekan-rekan pers.
“Intimidasi dan kekerasan terhadap pekerja pers di lapangan akan selalu terjadi dan akan terus berlanjut ketika penindakan hukum terhadap pelaku tidak dilakukan secara cepat dan tegas,” tegas Masinton.
Masinton menjelaskan bahwa pers dalam melaksanakan tugasnya dilindungi UU Pers No.40/1999. “Dan Pasal 18, UU Pers 40/1999 jelas kok, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat dan menghalangi petugas pers dalam melaksanakan tugasnya dapat dipidana penjara selama 2 (dua) tahun, atau denda hingga lima ratus juta rupiah,” ujar Masinton mengakhiri penjelasannya.