Jakarta – Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan supervisi terhadap langkah atau kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung), dalam penanganan perkara dugaan korupsi pengembangan lahan di kawasan Hotel Indonesia, yang dibuat melalui perjanjian BOT (Built, Operate, Transfer) antara PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) dan PT Grand Indonesia (GI).
Proses supervisi yang dilakukan oleh KPK sangat penting untuk memastikan atau mendorong agar Kejagung tidak “main-main” dalam penanganan perkara ini, sehingga proses hukumnya bisa dituntaskan hingga ke tahap penuntutan.
Demikian pernyataan pers ICW yang dimuat di laman www.antikorupsi.org, Rabu (20/4/2016).
Menurut ICW, permintaan supervisi itu didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Pertama, ICW mencatat adanya kejanggalan dalam penanganan perkara ini. Meski penanganan perkara ini telah ditingkatkan Kejagung ke tahap penyidikan, namun hingga saat ini pihak Kejagung belum menetapkan satu pun pelaku sebagai tersangka korupsi.
Kenaikan status penanganan perkara ke tahap penyidikan tanpa penetapan tersangka merupakan suatu hal yang tidak lazim.
Kedua, ICW menilai potensi kerugian negara yang terjadi dalam perkara ini – berdasarkan audit BPK- sangat fantastis yakni mencapai Rp 1,29 triliun. Artinya perkara dugaan korupsi ini tergolong sebagai perkara korupsi kelas kakap yang perlu mendapat perhatian khusus.
Ketiga, ICW meragukan independensi institusi Kejaksaan saat ini. Keraguan ini muncul karena H.M. Prasetyo, Jaksa Agung saat ini merupakan politisi dan kader dari Partai Politik (Nasional Demokrat). Posisi Jaksa Agung yang tidak independen sangat rentan dan membuka potensi adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu temasuk dari partai atau pimpinan partai yang dapat mempengaruhi penanganan perkara (bahkan dihentikan).
Keempat, ICW mengkhawatirkan proses hukum perkara ini dihentikan dan dialihkan ke proses perdata. Kekhawatiran ini muncul karena Kejaksaan memiliki reputasi menghentikan sejumlah perkara korupsi kelas kakap yang dinilai kontroversial.
Sejumlah kasus itu antara lain perkara korupsi pemberian fasilitas kredit PT Texmaco yang diduga melibatkan Marimutu Sinivasan, pengadaan di PLTU Borang di Sumatera Selatan yang diduga melibatkan Edi Widiono (eks Dirut PLN), juga skandal cessie Bank Bali yang diduga melibatkan Setya Novanto.
Menurut ICW, perkara yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan dalam kondisi tertentu dapat diambil alih oleh KPK. Berdasarkan Pasal 9 UU No. 30 Tahun 2002, KPK dapat mengambil alih penyidikan dan penuntutan yang ditangani oleh Kepolisian atau kejaksaan dengan alasan:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan
Sebagaimana diketahui, Kejagung telah meningkatkan status penanganan perkara dugaan korupsi ini dari tahap penyelidikan ke penyidikan sejak Selasa (23 Februri 2016). Kejagung meyakini adanya unsur pidana dalam pelaksanaan kontrak pembangunan kompleks di kawasan Hotel Indonesia yang dibuat antara HIN dengan CKBI dan GI.
Proses penyelidikan kemudian penyidikan yang dilakukan Kejagung merupakan tindak lanjut atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil audit PDTT BPK pada 2015 lalu, menyatakan adanya potensi kerugian negara sebesar Rp 1,296 triliun yang dialami oleh BUMN PT HIN.
Hingga saat ini proses penyelidikan dan penyidikan oleh Kejagung telah memangil dan memeriksa sejumlah pihak sebagai saksi. Mereka antara lain Laksamana Sukardi (mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara /BUMN), Edwin Hidayat Abdullah (Deputi Bidang Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata di Kementrian BUMN, Fransiskus (Direktur Utama PT Grand Indonesia) dan Johanies (Dirut PT Cipta Karya Bumi Indah), Aloysius M. Susetyo (eks Dirut PT HIN), I Gusti Kadek Heryadi Angligan ((eks Dirut PT HIN), Tesa Natalia Hartono (Presdir PT GI) dan lain-lain.
Namun, sebagaimana dicatat ICW, Kejagung sampai saat ini belum menetapkan satu pun tersangka dalam perkara ini. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah belum memberi keterangan ketika indeksberita.com menanyakan hal ini melalui telepon selularnya pada Selasa (19/4).
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.