Rabu, 29 November 23

HUT Kopassus Tanpa Parade dan Defile

Pandemi virus Corona menyebar ke segala arah, tanpa mengenal kelas sosial, jabatan atau status seseorang, bahkan pasukan setangguh Kopsasus terkena dampaknya juga. Pada hari jadi Kopassus ke-68 tahun ini, yakni 16 April 2020, bisa dipastikan akan sedikit berbeda, yakni ditiadakannya upacara kebesaran militer, seperti parade dan defile, sebagaimana biasa dilakukan tahun-tahun sebelumnya.

Sesuai dengan arahan pemerintah pusat, untuk memutus mata rantai penyebaran wabah tersebut, diberlakukan kebijakan pembatasan sosial, dan kini lebih meningkat lagi, yang diistilahkan sebagai PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Itu artinya, tidak boleh ada kerumunan atau kumpulan dalam jarak rapat. Dengan kata lain, kegiatan seperti parade atau defile tidak mungkin diadakan, bukan sebatas bagi Kopassus, juga pada satuan yang lain di TNI.

Tiadanya upacara pada hari jadi Kopassus, bukan sesuatu yang baru, pada tahun 1996 pernah juga terjadi. Meski dengan sebab yang berbeda, saat itu Kopassus dengan “berat hati” hanya mengadakan upacara sangat sederhana di Batujajar, markas pusat pendidikan pasukan khusus. Hal itu berkaitan dengan gugurnya beberapa perwira Kopassus, saat Operasi Mapenduma (Januari sampai Mei 1996) di Papua.

Tentu kita bisa paham, bagi pasukan dengan nama besar seperti Kopassus, penyelenggaraan upacara bukanlah yang utama, yang lebih prioritas adalah bagaimana Kopassus dengan segala sumber dayanya bisa meringankan rakyat kecil, sebagai golongan yang paling menderita dalam situasi muram seperti sekarang.

Kita masih mengingat dengan baik, bagaimana prajurit-prajurit Kopassus, khususnya dari Grup 2, telah menunjukkan dedikasi luar biasa, ketika menyelamatkan warga dari bencana erupsi Gunung Merapi, pada Oktober 2010. Mereka berjibaku, sampai pada titik yang paling dekat dengan sumber bencana, prajurit Kopassus akan hadir, untuk langsung mengevakuasi. Mereka sudah sampai pada fase tak lagi memikirkan diri sendiri, sesuai tradisi prajurit Baret Merah selama ini, lebih baik pulang nama daripada gagal dalam tugas.

Satu fenomena menarik adalah, ketika melaksanakan misi penyelematan terhadap warga yang terancam bencana Merapi, para anggota memakai seragam lengkap (Pakaian Dinas Lapangan), lengkap dengan Baret Merah. Dengan berseragam lengkap, adalah salah satu cara untuk menegaskan kehadiran Kopassus, sebagai bagian dari TNI, artinya juga memastikan kehadiran negara, dalam situasi krisis. Sehingga masyarakat merasa tenang, terutama mereka yang sedang dalam posisi rentan terhadap musibah.

Kesigapan prajurit Kopassus dalam menyelamatkan korban bencana, di seluruh penjuru tanah air, menemukan aktualitasnya kembali hari-hari ini. Pasukan seperti Kopassus, juga satuan-satuan yang lain, adalah kelompok masyarakat yang terlatih dalam bertempur. Artinya mereka sudah terlatih mengerjakan sebuah misi skala besar, dengan persiapan waktu sangat singkat.

Kita bisa menyaksikan sendiri, bagaimana satuan TNI telah berperan, khusunya dalam memindahkan kebutuhan logistik. Dari segi peralatan TNI sangat lengkap, didukung personel dengan usia relatif muda dan bugar, sehingga bisa dengan cepat memindahkan barang dalam volume besar. Personel TNI sangat berperan dalam pengambilan APD (alat pelindung diri), dan perlengkapan medis lainnya dari Shanghai (China). Juga turur mempersiapkan rumah sakit darurat Wisma Atlet (Kemayoran), dalam waktu cepat, sekitar seminggu saja.

Khusus dari matra darat, KSAD Jenderal Andika Perkasa juga telah mengerahkan satuan kesehatan AD, seperti Yonkes Kostrad dan Kodam, termasuk satuan kesehatan dari Kopassus. Satuan kesehatan AD telah mendirikan sejumlah tenda medis, sebagai tempat untuk karantina. Mengingat rumah sakit rujukan sudah kewalahan menerima pasien baru yang terus bertambah, sementara tenaga medis jumlahnya juga terbatas.

Prajurit Kopassus adalah manusia biasa, artinya tidak kebal virus, seperti sudah disinggung sekilas di awal tulisan ini. Bagi prajurit Kopassus yang masuk satgas siaga mengatasi Corona, harus tetap mengikuti prosedur secara cermat. Keselamatan mereka juga harus dijaga. Prajurit Kopassus adalah manusia terlatih, jadi jangan sampai meninggal sia-sia, dan lagi mereka adalah kepala keluarga yang menjadi tumpuan hidup istri dan anak-anaknya.

Keterlibatan prajurit Kopassus dalam menanggulangi bencana di tanah air, sudah menjadi catatan sejarah tersendiri, termasuk “bencana” karena faktor politik, seperti pasca-Peristiwa 1965 dan pasca-Kerusuhan Mei 1998. Bencana kali ini benar-benar berbeda, karena bersifat global, masif, dan yang penting untuk dicatat, musuh yang dihadapi tidak kasatmata. Sungguh sebuah pengalaman baru, baik bagi Kopassus, maupun bagi satuan-satuan lain di TNI.

Kita jadi teringat pada saat bencana tsunami di Aceh dulu (Desember 2004), ketika seluruh awak kapal induk AS (USS Carl Vinson) bersedia menunda perayaan Natal dan Tahun Baru 2005, karena lebih mengutamakan penyelamatan warga Aceh. Sudah tercatat dalam sejarah, USS Carl Vinson adalah bantuan asing skala besar, yang paling awal tiba, dalam evakuasi korban tsunami. Saat itu USS Carl Vinson sedang patroli rutin di sekitaran Lautan Pasifik, dan langsung merapat ke perairan Aceh, ketika mendengar bencana terjadi.

Begitu juga yang terjadi pada Kopassus hari ini. Seluruh prajurit Kopassus rela menunda perayaan hari jadinya, sebab ada tugas yang lebih mendesak untuk ditangani. Tugas kemanusiaan, yang menyelamatkan sejumlah nyawa anak bangsa, juga menyelamatkan sebuah peradaban. Sementara parade dan defile, masih bisa dilaksanakan tahun depan, ketika situasi di tanah air sudah normal kembali.

 

Penulis Aris Santoso: pengamat militer terutama TNI AD, saat ini menjadi editor buku paruh waktu

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait