Hersri Setiawan adalah seorang penulis sebelum ditahan di Pulau Buru. Karena itu tak heran, ia paling banyak menulis buku pengalaman di pulau penjara itu. Selain menulis buku Memoar Pulau Buru 1, Hesri juga menulis buku Aku Eks Tapol (Galang Pers, 2003a), Kamus GESTOK (Galang Pers, 2003b), dan Diburu di Pulau Buru (Galang Pers, 2006). Satu buku lagi yang sedang disiapkan adalah Humoria Buruensis. Semacam buku pengalaman “yang ringan dan lucu di Pulau Buru”.
Film “Life is Beautiful” adalah sebuah film Italia yang dirilis 1997 tentang seorang Yahudi Italia, Guidio Orefice, dibintangi Roberto Benigni, di mana dia harus menggunakan imajinasinya untuk menolong keluarganya (anak dan istri) di kamp konsentrasi Nazi. Guidio selalu bercerita kepada anaknya yang masih kecil bahwa di kamp ini mereka sedang mengadakan permainan. Tentu saja, buku “Humoria Buruensis” tak seperti “Life is Beautiful”. Persamaannya adalah bagaimana melawan ketidakwarasan sistem di penjara atau kamp konsentrasi dengan guyonan. Humor mampu membantu daya tahan di tengah penderitaan.
Sebelumnya melalui buku Kamus GESTOK, Hersri menulis “Melalui kata-kata dan peristilahan yang lahir dan dilahirkan, sertabyang berlaku dan diberlakukan itu, bisa diperoleh petunjuk tentang peri hidup masyarakatnya dalm kurun waktu dan tempat kesejarahannya yang tertentu (Setiawan, 2003b, hal xvii).
Berangkat dari pengalaman nyata, para tahanan politik (tapol) menciptakan bahasanya sendiri yang tak jarang berbeda dengan bahasa yang umum dikenal. Misalnya, “sayur kepala” yang berarti secangkir sup sekadar air hangat bergaram dan di atas sup itulah tampak bayang-bayang kepala tapol sendiri. Ada lagi, istilah demam akibat masih tingginya malaria di Pulau Buru dikenal istilah “naik Honda”, maksudnya adalah kondisi penderitaan malaria yang mengalami demam tinggi hingga badannya terguncang-guncang seperti mengendarai motor merek Honda yang populer ketika itu.
Ada sosok tapol kocak yang ditulis Hersri dalam Memoar Pulau Buru 1, namanya Supardjo PA (Purworejo Asli atau Pikiran Abnornal). Ia mempunyai cara cerdas dan lucu untuk menghapal Pancasila lengkap dengan gambar masing-masing sila. Supardjo membuat metode menghafal semacam “jembatan keledai” yang menggabungkan sila Pancasila dengan lambangnya menjadi seperti ini: Satu, ketuhanan yang berbintang / Dua: kemanusiaan yang dirantai / Tiga: persatuan di bawah beringin / Empat kerakyatan yang dipimpin oleh kerbau / Lima: keadilan soial di kuburan (hal 359). Sungguh cara menghafal Pancasila ala Supardjo selain cerdas juga merupakan kritik tajam terhadap praktik Pancasila era Orde baru.
Eks tapol Pulau Buru lain, Tedjobaju Sudjojono, melalui status di akun Facebooknya tahun lalu menulis, kebiasaan para tapol saat mengunjungi tapol lain yang sedang sakit. Ternyata mereka selain datang untuk melihat keadaan kawannya yang sakit, juga membawa alat untuk mengukur panjang si kawan yang sakit. Untuk apa? Rupanya mereka juga menyiapkan panjang kuburan untuk tapol yang sakit.
Seperti peribahasa Yahudi yang disitir Primo Levi (1984), Troubles overcome are good to tell, maka pengalaman di Pulau Buru baik yang menyedihkan apalagi yang penuh canda sangat bagus untuk diceritakan kepada masyarakat. Hersri yang telah diasingkan di Pulau Bru selama sembilan tahun rasanya sangat tepat untuk menulis buku Humoria Buruensis.
“Kalau pengalaman lucu saya sendiri mungkin kurang banyak, perlu digabung dengan eks tapol lainnya,” jawab Hersri pada diskusi buku di Toko Buku Togamas Gejayan Yogyakarta (12/3), saat ditanya tentang Humoria Buruensis. Katanya, ada seorang penulis humor di Jogja yang akan mewawancara dan menulis pengalaman lucu dirinya setelah pindah dan menetap di Yogyakarta Juli mendatang. Pengalaman lucu Hersri nanti akan digabung dengan pengalaman Tedjobaju dan eks tapol Buru lainnya. Jadilah Yang Ringan dan Lucu di Pulau Buru atawa Humoria Buruensis.