Pencopotan Arcandra Tahar dari kursi Menteri ESDM yang diduga kuat dipicu oleh status kewarganegaraannya, dinilai Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana tidak layak memicu dilakukannya revisi Undang-Undang Kewarganegaraan sebagaimana wacana yang berkembang saat ini, apalagi bila hal itu dimaksudkan untuk mengakomodasi status kewarganegaraan ganda.
Seperti diketahui, Arcandra Tahar yang ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Menteri ESDM hanya menjabat selama 20 hari, karena disebut-sebut berstatus dwikewarganegaraan Indonesia-Amerika Serikat. Namun, pemerintah tidak pernah menjelaskan secara resmi soal kewarganegaraannya itu.
Dalam pasal 22 ayat 2 huruf a UU Nomor 39/2008, dinyatatakan, seorang menteri haruslah seorang WNI. Sementara bagi Amerika Serikat, kewarganegaraan negara itu hilang saat seorang warga negaranya menjadi pejabat publik negara lain.
“Masalah Pak Arcandra Tahar jangan menjadi pemicu untuk merevisi UU Kewarganegaraan, apalagi untuk mengakomodasi masalah dwikewarganegaraan,” ujar Juwana, dalam diskusi publik bertema: Warga Tanpa Negara, oleh PARA Syndicate, di Jakarta, Jumat.
Kini, berkembang pendapat tentang keberadaan “orang-orang potensial” di luar negeri yang “sayang” jika tidak dimanfaatkan Indonesia dan harus diambil sejumlah “terobosan”. Misalnya melalui Naturalisasi seperti yang dilakukan kepada para pemain sepakbola yang belakangan sinarnya meredup.
Selain itu, juga berkembang isu pemerintah akan memperbolehkan seseorang memiliki status dwikewarganegaraan.
Terkait hal tersebut, Hikmahanto mengatakan, status dwikewarganegaraan sebaiknya hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki kerumitan status kewarganegaraan, misalnya orang dengan status perkawinan campur atau beda negara, serta anak-anak Indonesia yang lahir di luar negeri.
Sedangkan untuk diaspora atau warga Indonesia yang telah menjadi warga negara asing, menurutnya tetap harus mengikuti prosedur perundang-undangan yang berlaku guna mendapatkan kewarganegaraan Indonesianya kembali. Salah satunya adalah masa tinggal di Indonesia yang minimal lima tahun berturut-turut tanpa putus.
Menurut Hikmahanto, sesuai undang-undang, untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, seseorang harus bermukim selama lima tahun di Indonesia berturut-turut, atau bermukim selama 10 tahun di Indonesia secara tidak berturut-turut, atau diberikan status kewarganegaraan Indonesia oleh pemerintah karena yang bersangkutan dianggap telah memiliki prestasi bagi Indonesia.
Dia menilai Arcandra harus menjalankan persyaratan bermukim sekurangnya lima atau 10 tahun di Indonesia jika ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia kembali.
Arcandra, kata Hikmahanto, tidak bisa diperlakukan istimewa dan diberi langsung status WNI. Meski dikatakan bahwa Arcandra telah berhasil menghemat 15 miliar kasus Blok Masela, namun penghematan itu dipandang baru berupa potensi, belum dapat dikatakan prestasi sebagaimana digembar-gemborkan sebagaian kalangan.
“Dalam persyaratan harus bermukim di Indonesia berturut-turut selama lima tahun atau tidak berturut-turut selama 10 tahun, tidak dijelaskan apakah bermukimnya secara yuridis atau harus secara fisik. Pak Arcandra bisa menggunakan syarat itu, jika dia punya rumah tinggal di sini sepanjang 10 tahun terakhir, dia bisa dinilai telah bermukim selama 10 tahun tidak berturut turut,” kata dia.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.