Hendrik Sirait, Aktifis yang Kini Pimpin ALMISBAT

0
819
Hendrik Dikson Sirait alias Iblis setelah terpilih sebagai Ketua Umum ALMISBAT periode 2018-2023 dalam Temu Raya Nasional ALMISBAT ke-2, Depok, Kamis, 30 Agustus 2018. (Foto: Gatot)

Jakarta – Salah satu aktifis Pro Demokrasi yang juga korban Penculikan pada masa Orde Baru, Hendrik Dikson Sirait, terpilih sebagai Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT) dalam Temu Raya Nasional ALMISBAT ke-2 yang digelar di Wisma Kinasih, Depok, Kamis (30/8/2018).

Hendrik yang dipilih secara aklamasi oleh peserta Temu Raya Nasional, akan menjabat sebagai Ketua Umum ALMISBAT selama lima tahun, 2018-2023. Selain memilih Ketua Umum, forum tersebut juga membahas berbagai langkah pengembangan organanisasi selama lima tahun ke depan, serta menetapkan sikap organisasi terkait proses politik seperti pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) 2019.

Terkait Pilpres 2019 mendatang, Hedrik menuturkan bahwa di bawah kepemimpinanya, organisasi yang saat ini mempunyai cabang di 62 tingkat Kabupaten/Kota se-Indonesia, akan menjadi salah satu garda terdepan dalam memenangkan pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin.

Menurutnya, Jokowi adalah sosok pemimpin yang telah terbukti dapat membangun Indonesia sentris yang selaras dengan cita-cita Trisakti untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Jokowi selama ini sudah membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin yang tak hanya membangun Jawa Sentris tapi Indonesia Sentris yang dengan cara itu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoensia akan tercipta,” ujar mantan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Jakarta tersebut, Jumat (31/8/2018).

Hendrik mencontohkan, bagaimana saat ini masyarakat di Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan wilayah-wilayah perbatasan dapat mulai menikmati berbagai fasilitas dan pelayanan yang dari Indonesia merdeka tak pernah mereka rasakan.

“Berbagai sarana insfratruktur yang begitu banyak dibangun selama ini adalah medium untuk memangkas rentang kendali dari berbagai pelayanan masyarakat yang selama ini tak pernah mereka dapatkan,” imbuhnya.

Selain sosok pekerja, ALMISBAT menilai Jokowi adalah sosok sederhana yang berasal dan sekaligus mewakili wong cilik, sehingga tetap menjunjung tinggi etika dan norma-norma.

Bahkan, sosok Jokowi, menurutnya, adalah inspirasi bagi generasi muda bahwa ketulusan dan cita-cita yang dibarengi etos kerja dan semangat mengabdi sangat memungkinkan siapapun untuk menjadi pemimpin negara.

“Sebelumnya mungkin banyak yang memandang sebelah mata Jokowi. Sekarang kita bangga dunia pun kini sangat memperhitungkan Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi. Ini adalah contoh bahwa dari yang bukan siapa menjadi apa apa. Juga menjadi inspirasi bahwa semua anak bangsa apapun latar belakangnya akan mampu berprestasi melalui potensi yang dimilikinya,” paparnya.

Namun, Hendrik menegaskan bahwa pihaknya tetap akan menempatkan diri sebagai mitra kritis bagi pemerintah. ALMISBAT, menurutnya, tetap akan mengingatkan bila terdapat kebijakan pemerintah yang kontra terhadap kepentingan rakyat.

“Kami obyektif, jika kami melihat kesalahan dalam kebijakan pemerintah, kami akan mengingatkan dengan berbagai cara. Namun, jika kebijakan itu bermanfaat buat rakyat, maka kami akan mengawalnya dengan berbagai cara pula,” tegasnya.

Di kalangan aktifis, nama Hendrik Dikson Sirait bukan nama yang asing lagi. Pria kelahiran Jakarta 5 Januari 1972 dan akrab dipanggil ‘Iblis’ tersebut, dikenal sebagai aktifis yang sangat vokal menentang rezim Orde Baru sejak awal 1990an.

Bahkan, Hendrik yang semasa kuliah aktif di Gerakan Mahasiwa Indonesia (GMNI), pernah menuntut Soeharto diseret ke Sidang Istimewa MPR. Akibatnya, Hendrik menjadi salah satu di antara 21 aktifis Front Aksi Mahasiwa Indonesia (FAMI) yang dijebloskan ke penjara oleh Orde Baru.

Ia juga aktif di Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi (PIJAR) dan kemudian Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA). Melalui organisasi itulah, Hendrik dan kawan-kawanya kerap terlibat dalam aksi advokasi petani, buruh, dan masyarakat wong cilik lainnya di berbagai tempat yang menjadi korban kesewenang-wenangan kebijakan pemerintah Orba.

Selain jeruji penjara, Hendrik juga pernah diculik, tepatnya pada 1 Agustus 1996 usai dirinya menghadiri sidang tuntutan Megawati Sukarnoputri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kala itu Hendrik sedang menunggu bus dan beberapa orang menghampirinya, meninju wajahnya, dan menyeretnya ke dalam mobil menuju sebuah “tempat” untuk diinterogasi. Saat dinterogasi tersebut, ia menerima berbagai siksaan fisik, termasuk disetrum aliran listrik.

Siksaan itu adalah cara untuk memaksanya mengakui sebagai salah satu dalang kerusuhan di Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro dan mengaku sebagai anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Selain itu, Hendrik juga dipaksa untuk mengakui dirinya berencana melalukan pengeboman di berbagai gedung di Ibukota. Ia baru bebas menghirup udara segar setelah 25 hari ditahan, tepatnya pada 26 Agustus 1996.

Satu hal yang menjadi catatan tersendiri bagi rekan-rekan seperjuanganya adalah sikapnya yang tak menyimpan dendam kepada mereka yang telah menganiayanya.

“Sedikitpun saya tidak mendendam terhadap mereka yang telah menganiaya saya. Karena saya yakin, mereka pun tidak mengerti dengan apa yang mereka lakukan,” pungkasnya.