Jumat, 24 Maret 23

Hendardi: Yang Gemar Main Sinetron Itu Pemerintah

Jakarta – Pernyataan Menkopolhukam Luhut B Panjaitan terkait rencana eksekusi mati terpidana kasus narkoba menggambarkan banyak fakta di pemerintahan Jokowi. Luhut menganggap proses eksekusi mati sebelumnya seperti sinetron akibat banyaknya pemberitaan.

“Pernyataan itu juga menunjukkan bahwa Luhut tidak nyaman dengan aspirasi dan aksi penolakan elemen masyarakat sipil terhadap hukuman mati,” demikian kata Ketua SETARA Institute Hendardi kepada pers di Jakarta, Jumat (22/4/2016).

“Sebagai sebuah kebijakan yg antikemanusiaan, eksekusi mati memang harus ditentang dan disuarakan terus menerus,” tambahnya.

Sebelumnya, Luhut mengatakan bahwa eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba segera dilakukan. Namun, pemerintah tak ingin pemberitaan pelaksanaan eksekusi mati di media massa ramai dan menghebohkan masyarakat. Banyak orang kemudian bicara menjelang pelaksanaan eksekusi.

“Eksekusi bisa kapan saja, tapi tak akan ada ‘sinetron’ lagi soal itu,” kata Luhut di Jakarta, Kamis, 21 April 2016. “Tak perlu ada sinetron seperti dulu lagi, tidak elok. Menurut saya, jangan dibikin ramai,” tambahnya.

Menurut Hendardi, selain membahayakan, pernyataan itu juga kontradiktif, karena yang sebenarnya gemar membuat sinetron adalah pemerintah.

“Sebagian besar menteri Jokowi gemar dengan efek publisitas dan pencitraan yang over dosis meskipun tidak ada kerja nyata. Dalam kasus yang berbeda, bagaimana tidak menjadi sinetron, BIN saja gemar melakukan konferensi pers,” kata Hendardi.

Menurutnya, Luhut juga tanpa sadar menganggap putusan Jokowi terkait crisis center untuk kasus penyanderaan 10 WNI di Filipina sebagai sebuah kekeliruan, karena menimbulkan kegaduhan. Luhut juga terlampau ‘progresif’ terkait pernyataannya bahwa pemerintah tidak akan pernah meminta maaf pada korban 65. Sementara Jokowi di London mengatakan belum memutuskan apapun.

“Bukan hanya matahari kembar, tapi banyak matahari dalam pemerintahan Jokowi. Tak salah kalau ada anggapan kabinet ini multipilot,” ujarnya.

“Situasi semacam ini perlu dijadikan pertimbangan Jokowi dalam reshufle II untuk mengefektifkan sinergi dan koordinasi kabinet,” pungkas Hendardi.

Kabar bahwa eksekusi hukuman mati akan dilaksanakan pada 7 Mei 2016 sempat beredar lewat berbagai media. Sebanyak 10-13 yang terdiri atas tiga warga negara Indonesia dan 7-10 warga asing, dikabarkan akan dieksekusi.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait