Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, pelemparan bom molotov oleh anggota kelompok jihadis di halaman Gereja Oikoumene, Kota Samarinda pada Minggu (13/11), membuktikan bahwa pembiaran atas praktik intoleransi terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan telah menjadi medium recovery kelompok jihadis melakukan aksi-aksi teror, melakukan radikalisasi publik, dan merekrut aktor-aktor baru yang dengan pandangan keagamaan sempit memilih jalan kekerasan.
“Setara Institute mengutuk keras pemboman tempat ibadah dan turut berduka dan berbela sungkawa atas jatuhnya korban luka dan anak yang meninggal,” kat Hendardi dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (14/11/2016).
Peristiwa pemboman di Samarinda, menurutnya, dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk mempercepat langkah, menyusun kebijakan komprehensif, dalam menangani kasus-kasus intoleransi yang merupakan terorisme lunak (soft terrorism) dan berpotensi atau rentan bertransformasi menjadi gerakan radikal.
“Mereka yang menjadi aktor jihad adalah orang-orang yang telah melampaui pandangan intoleran, melakukan aksi-aksi intoleran, dan untuk mencapai kepuasan aksinya dengan melakukan teror,” tegasnya.
Hendardi selanjutnya mengingatkan bahwa aksi-aksi intoleransi atas dasar agama dan ras harus diatasi dengan berbagai pendekatan, politik, sosial, dan hukum sehingga selain mempertegas rule of law di Republik Indonesia, juga mencegah terjadinya kekerasan baru dan disintegrasi bangsa.
Karena itu, aparat kepolisian dituntut untuk meningkatkan kewaspadaan dan kinerjanya dalam mendeteksi setiap potensi terorisme. Demikian juga Kementerian Hukum dan HAM harus memastikan ketersediaan sistem pemasyarakatan atas warga binaan efektif berkontribusi pada terjadinya kekerasan baru.
“Tindakan kejahatan yang dilakukan oleh seorang residivis menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan dan deradikalisasi atas aktor-aktor teroris belum berjalan efektif,” pungkasnya.