“Pemberian gelar pahlawan mengandung makna etis bahwa seseorang memiliki peran signifikan, berintegritas, dan tidak cacat moral dalam penyelenggaraan pemerintahan atau pembangunan bangsa.”
Jakarta – Ketua Setara Institute, Hendardi, menilai gelar pahlawan hanya pantas diberikan bagi sosok yang tidak pernah melakukan kejahatan kepada publik dan negara dalam bentuk apapun.
Oleh karena itu, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto melawan akal sehat publik dan etik.
“Pemberian gelar pahlawan mengandung makna etis bahwa seseorang memiliki peran signifikan, berintegritas, dan tidak cacat moral dalam penyelenggaraan pemerintahan atau pembangunan bangsa,” kata Hendardi dalam keterangan pers yang diterima indeksberita.com, Jumat (20/5/2016).
Sedangkan Soeharto, lanjut Hendardi, selain tersangkut banyak praktik korupsi di masa lalu, juga diduga melakukan kejahatan politik dan pelanggaran HAM berat.
Bahkan secara eksplisit Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, menyebut secara jelas perintah pengusutan atas kejahatan korupsi Soeharto.
“Dan yang perlu diingat, Soeharto sama sekali tidak pernah dimintai pertanggungjawaban hukum. Jadi, usulan itu bukan hanya bertentangan dengan Tap MPR tetapi juga melawan akal sehat publik dan etik,” ujar Hendardi.
Hendardi menambahkan, usulan gelar bagi Soeharto bukan hanya ditujukan untuk memberikan penghargaan.
Hal itu, lanjut Hendardi, secara implisit bertujuan memulihkan nama baik, membersihkan dari seluruh dugaan kejahatan, dan menjadi landasan ekspansi politik para loyalis Soeharto untuk mengokohkan kekuasaan baru.
Bukan hanya berimplikasi pada aspek hukum tetapi juga memiliki makna luas dalam praktik politik.
Seperti diketahui, wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto kembali mengemuka setelah Munaslub Golkar.
Menurut Hendardi, Golkar tentu mempunyai tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan penghargaan bagi Soeharto.
“Apalagi kepemimpinan Golkar hingga saat ini belum pernah dipegang oleh tokoh yang benar-benar berjarak dengan penguasa Orde Baru,” katanya.
Selanjutnya, Hendardi meminta agar sebaiknya Preaiden Joko Widodo mengabaikan usulan-usulan tidak produktif itu.
“Akan lebih produktif jika Jokowi justru memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu akibat kebijakan politik Soeharto,” pungkas Hendardi.