Dalam peta politik pasca-Orde Baru, nama almarhum Jenderal (Purn) Benny Moerdani masih terasa gaungnya. Seperti bunyi ungkapan lama, manusia mati meninggalkan nama, begitu kira-kira yang terjadi pada Benny. Meski telah berpulang lebih dari satu dekade lalu, tepatnya pada 29 Agustus 200. Figur Benny Moerdani masih sering dihubung-hubungkan dengan sejumlah purnawirawan TNI yang memiliki akses kuat pada Presiden Jokowi, seperti Hendro Priyono (Akmil 1967) dan Luhut B Panjaitan (Akmil 1970).
Kekuatan Benny terletak pada kharisma. Konsep kharisma memang abstrak, mistis, dan mirip-mirip konsep “wahyu” dalam tradisi kekuasaan jawa (Mataram) di mana kharisma/wahyu akan jatuh pada orang-orang terpilih. Pejabat publik yang berasal dari unsur TNI tampaknya lebih berpeluang memperoleh kharisma ketimbang figur sipil murni.
Jenderal Benny Moerdani adalah tipikal perwira intelijen sejati. Karena itulah agak sulit menggambarkan figur Benny secara singkat. Dalam perjalanan waktu, kita kemudian bisa mengetahui, bahwa Benny memang dikenal sebagai figur yang cenderung tertutup, bahkan acapkali dianggap misterius.
Citra Benny yang misterius, rupanya justru menjadi daya tarik sendiri. Figur seperti Benny tidak akan pernah kekurangan “penggemar”. Seperti penulis buku yang sedang kita bahas ini, yakni Andi Setiadi, seorang sarjana UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta), tahun 1986. Artinya penulis buku ini lahir saat Benny masih menjadi Panglima ABRI (kini TNI), sekadar mengingatkan, Benny menjadi Pangab pada 1983-1988.
Bila dihitung dari usia penulis tersebut, ketika penulis buku tengah memasuki usia sekolah (dasar), Benny sebenarnya sudah tidak memiliki jabatan formal. Benny pensiun sebagai Menhankam pada tahun 1993, dan tidak terpilih lagi dalam kabinet berikutnya. Namun sebagai figur, pamor Benny tetap kuat, sehingga namanya juga dikenal oleh generasi milenial.
Menurut Andi Setiadi, daya tarik terbesar Benny adalah pada keluwesan dalam pergaulan, mungkin ini sebagian karena bakat kuat Benny di bidang intelijen. Sepertinya Benny memang ditakdirkan untuk menjadi perwira intelijen, dan komitmennya sebagai intelijen terung dipegang erat hingga ajal menjemput.
Kemudian soal komitmen Benny pada Pancasila. Bagaimana penulis buku menggambarkan dengan narasi yang bagus, ketika dilantik sebagai Pangab (1983) oleh Presiden (saat itu) Soeharto, ketika Benny mengacungkan lima jari saat membacakan sumpah jabatan. Sebagai penganut Nasrani (Katolik), Benny seharusnya mengacungkan dua jari, sebagaimana tradisi yang terjadi selama ini. Namun Benny dengan mantap mengacungkan lima jari, sebagai bentuk komitmennya pada Pancasila.
Benny memang figur luar biasa yang belum tentu lahir tiap setengah abad. Generasi sebelum dan sesudah Benny banyak yang sudah mencapai jenderal penuh (bintang empat), namun kharisma tidak otomatis hadir untuk mereka. Di masa perang kemerdekaan ada juga figur seperti itu, yakni Oerip Sumohardjo. Jenderal yang pembawaannya juga pendiam ini memiliki kharisma yang masih berpendar jauh mengarungi waktu.
Kasus Benny bisa dijelaskan dengan lebih rasional, yakni berdasarkan rekam jejaknya dalam operasi tempur dan intelijen. Terkait operasi intelijen, figur Benny sudah seperti mitos tersendiri di lingkaran komunitas intelijen. Meski Benny sendiri mengakui, menjadi perwira intelijen adalah ibarat tragedi: bila mati atau gagal dalam tugas, negara tidak mengakui, namun bila berhasil, identitas namanya tetap disembunyikan.
Benar, menjadi perwira intelijen adalah sebuah “panggilan hidup” bagi yang menjalani. Artinya dia harus banyak berkorban, utamanya secara moril, karena harus legowo bila namanya tetap tidak dikenal atau diumumkan, bila tugasnya berhasil. Namun satu hal yang menarik, tetap saja banyak perwira yang ingin membangun karier melalui jalur (dinas) intelijen. Salah satunya karena posisi perwira intelijen yang kuat dalam TNI, khususnya di matra darat.
Asumsi itu bisa diuji di lapangan, dengan melihat fenomena demikian kuatnya pengaruh figur Benny, itu menandakan bahwa peran intelijen masih kuat dalam politik Indonesia, termasuk bagi pemerintahan sekarang. Supremasi sipil di era Jokowi memang benar-benar diuji, mengingat Jokowi adalah sipil murni, beda dengan figur Presiden SBY, yang mantan jenderal. Dengan kata lain SBY memiliki jaringan di TNI, dan sudah memahami “logika” intelijen TNI, khususnya TNI AD. Tentu publik berharap, bidang intelijen berperan secara profesional, yang tidak terlibat dalam politik praktis seperti di masa lalu.
