Gendo vs Adian

0
3038

Siapa tak mengenal dua aktivis muda ini, I Wayan Suardana dan Adian Napitupulu? Gendo panggilan akrab I Wayan Suardana adalah Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI). Adian Napitupulu adalah anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Kedua tokoh akhir-akhir ini banyak menghiasi media masa maupun media sosial. Posko Perjuangan Rakyat (POSPERA), lembaga yang di belakangnya ada Adian, melaporkan Gendo ke Polda Bali menyusul cuitan Gendo di twitter yang dianggap menyinggung aktivis Gerakan Reformasi 1998. Sungguh menarik seorang aktivis menyeret aktivis lainnya ke ranah hukum (hanya) gara-gara cuitan di media sosial.

Saya mengenal tetapi tidak akrab dengan dua tokoh muda ini. Beberapa kali bertemu Adian dalam berbagai kegiatan di Jakarta terutama setelah 1998. Dengan Gendo saya beberapa kali bertemu (setelah 1999) di Denpasar Bali. Saya bahkan pernah menginap di kantornya (WALHI Bali) usai saya berkunjung ke Timor Leste.

Sejak Gendo menjadi koordinator ForBALI pada 2013, saya belum pernah bertemu. Namun pada sebuah acara di Universitas Sanata Dharma, awal tahun ini, saya bertemu I Gde Ary Astina alias Jerinx (JRX), drummer band Superman is Dead (SID). Dalam talk show bertajuk “Artivisme” itu JRX dengan gamblang menjelaskan tentang keterlibatan seniman dan berbagai kelompok masyarakat di Bali menentang reklamasi di Teluk Benoa. Ketika ditanya siapa yang mempengaruhi menjadi artivis (seniman sekaligus aktivis), dengan bangga ia menjawab: Gendo.

Menurut JRX, pengusaha asal Jakarta bisa melakukan apa saja untuk mewujudkan proyeknya. Dari gubernur sampai presiden dia bisa bikin tunduk setuju. Sang pengusaha bisa mendatangkan Cristiano Ronaldo ke Bali. CR7 bukan diajak main sepakbola tetapi menanam mangrove dan diangkat sebagai Duta Mangrove. Pengusaha papan atas itu juga bisa mempengaruhi presiden yang mau lengser untuk mengubah peruntukan Teluk Benoa dari kawasan konservasi menjadi kawasan yang bisa dimanfaatkan. Semua elemen masyarakat di Bali – dari aktivis lingkungan, mahasiswa, intelektual, agamawan, seniman termasuk band SID, kini menunggu ‘ keajaiban’ dari Presiden Jokowi.

Bali adalah salah satu tempat wisata terbaik di dunia. Destinasi wisata alam dan budaya adalah yang utama. Jika pengembang membuat pulau lalu menjadikan pulau itu sebagai destinasi wisata seperti sirkuit balap mobil atau Disney Land, sebenarnya pengembang itu telah menghina alam Bali dan masyarakat Bali. Pulau indah ini tak kekurangan obyek wisata. Orang datang ke Bali untuk melihat alam yang indah dan budaya yang eksotik. Pengembang yang akan mereklamasi Teluk Benoa tujuannya demi keuntungan semata. Tak ada visi cemerlang ke depan.

Gerakan ForBALI kian membesar dari tahun ke tahun. Tak hanya di dunia maya tetapi juga di dunia nyata. Gerakan ForBALI tak hanya di Bali mampu mengumpulkan massa. Di beberapa kota besar di Indonesia juga gerakan ini juga sering menggelar aksi. Solidaritas nasional dan internasional juga diterima oleh Gerakan ForBALI. Masyarakat Bali, Indonesia dan internasional tak rela Bali berubah secara ekologis maupun budaya dengan adanya reklamasi Teluk Benoa.

Khawatir dengan makin membesarnya ForBALI, penguasa lokal berkolaborasi pengusaha nasional melakukan serangan balik terhadap gerakan ini. Kriminalisasi tokoh-tokoh gerakan menjadi pilihan. Namun Gendo bukan orang kemarin sore. Ia telah mengenyam asal garam di gerakan. Gendo pernah diadili pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia diadili karena membakar poster SBY saat aksi menentang kenaikan harga BBM. Gendo kini sudah berlipatganda. Makin banyak aktivis di Bali yang sadar dan berani melawan ketidakadilan.

Adalah cuitan Gendo di akun twitternya yang dianggap SARA. Salah satu point yang membawa Gendo dilaporkan ke Polda Bali adalah memplesetkan Adian Napitupulu menjadi Adian Napitufulus. Sungguh aneh. jika karena ini Gendo dilaporkan polisi betapa tipisnya kuping Adian yang aktivis kondang itu. Bukankah kita sering mendengar istilah Napitungdoso (ini saya dengar pertama kali pada 1990an oleh kawan saya Effendy Napitupulu). Marga Simatupang diplesetkan siang malam tunggu panggilan, setahu saya tak membuat marga Simatupang marah lalu melaporkan ke polisi.

Pada saat Jokowi berkunjung ke Danau Toba Sumatera Utara, saya menulis status di Facebook:

Presiden Jokowi berkunjung ke Sumatera Utara. Dari Sibolga rombongan menggunakan jalan darat menuju Parapat, tepian Danau Toba. Ia didampingi seorang staf asal Sumatera Utara.

Jokowi: “Coba ceritakan apa yang menarik sepanjang perjalanan?”

Staf: “Jalan menuju Parapat, Danau Toba banyak Naek dan Manurung. Kanan dan kiri jalan ada Tobing-Tobing. Di sana hawanya Siregar karena ada Pohan-Pohan. Tapi kalau kemarau daerah ini Girsang. Silaen itu, di sini juga ada jalan macam di Sumbar, kelok Simbolon. Kendaraan tak bisa Sitorus, harus belok-belok. Tapi di sini semua lancar tak macam jalan di Aceh saat DOM, setiap lima kilometer ada Naipospos tentara. Pak Jokowi bisa blusukan ber-Butar Butar di pasar, belanja pakai uang Pasaribu atau Pangaribuan. Di pasar ada Panjaitan, namun biasanya pasar tradisional, dimana-mana ada Tambunan.” ##terinspirasihumorWarkopDKI

Tujuan utama melaporkan Gendo ke polisi jelas. Agar Gendo sibuk memikirkan urusan kecil tapi merepotkan ini sehingga pada akhirnya aktivitas Gendo berkurang di Gerakan Bali Tolak Reklamasi. Kawan lainnya juga dipolisikan dalam kasus penurunan bendera, bahkan kabarnya sudah ada tindakan penahanan. Menurut Hendardi, Direktur Setara Institute, melaporkan Gendo ke polisi adalah cara primitif dan tidak rasional.

Kriminalisasi terhadap aktivis yang dilakukan oleh penguasa berkolaborasi dengan pengusaha sebenarnya bukan hal baru. Pada era Soeharto sampai era Jokowi kriminalisasi aktivis sering kita saksikan. Namun kali ini yang membuat miris adalah kriminalisasi aktivis ini didalangi oleh aktivis yang kini politisi. Gendo yang pentolan ForBALI dikriminalisasi oleh mereka yang pro reklamasi.

Sesama aktivis berbeda pendapat tentang suatu masalah itu hal biasa. Mereka biasa beradu argumentasi baik di rapat-rapat maupun di aksi jalanan. Tetapi, aktivis yang sudah terjun ke politik tentu cara berpikir dan bertindaknya setidaknya disesuaikan dengan partainya. Meskipun ada kalanya seorang politisi bermain sendiri mendukung pengusaha untuk mewujudkan proyeknya. Seorang Adian kekinian tak mungkin bisa ngotot membela masyarakat di bawah SUTET. Ia kini bahkan mendukung sebuah proyek reklamasi Teluk Benoa yang ditentang masyarakat Bali.

Hal yang sangat memprihatinkan terhadap para aktivis berkaitan dengan pemerintah. Mereka yang mendukung pemerintah seolah menutup mata minimnya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sehingga rawan munculnya perilaku Orba kembali. Mereka yang di luar pemerintah kian tak masuk akal (dalam menyerang pemerintah) bahkan mulai memainkan isu SARA dan berkawan dengan kelompok radikal. Antara yang di dalam dan di luar tak pernah ada komunikasi. Tak ada dialog kritis. Mereka menjadi sekadar kelompok pemuja dan pembenci. Memang aktivis juga manusia. Mereka bisa terlena dengan kekuasaan juga bisa terjerembab dalam radikalisme.

Gendo tetaplah menjadi aktivis bersama rakyat. Bukan aktivis yang bersekutu dengan pengusaha. Lalu bersama penguasa memaksakan kehendak.