Hanya Satu Kata: Nonton!
Saya hanya beberapa kali bertemu langsung dengan Wiji Thukul. Satu yang saya ingat pertemuan pada tahun 1989. Itu pertemuan pertama dengan Wiji Thukul, juga dengan adiknya, Wahyu Susilo. Saat itu, para aktivis dari Malang, Jogja dan Solo menginap di hotel kecil di bilangan Prumpung, Jatinegara, Jakarta Timur: Hotel Danau Toba. Hotel itu milik aktivis mahasiswa Universitas Pancasila yang kemudian menjadi anggota MPR RI, Fikri Thalib. Saya dan kawan-kawan aktivis Jakarta menemani Wiji Thukul dan kawan-kawan.
Selain mengunjungi Hotel Danau Toba, Wiji Thukul dan aktivis dari Solo juga mampir ke Depot Kreasi Jurnalistik Jakarta, sebuah lembaga yang diinisiasi dan diketuai Amir Husin Daulay. Depot Kreasi Jurnalistik adalah cikal bakal Yayasan Pijar. Ia juga juga mampir ke rumah Ali Akbar Suleman Batubara di Cipinang Cempedak. Ali Akbar adalah ketua Yayasan Pijar pertama. Tak lupa, Wiji Thukul juga diajak berkunjung ke kampus Universitas Nasional (Unas) di kawasan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan dan menginap di sebuah kontrakan para aktivis Unas di jalan Siaga, masih dekat kampus, bersebelahan dengan kandang sapi.
Seingat saya pada malam hari – pada pertemuan 1989 tersebut — ada kegiatan di Kedutaan Besar Jerman dan Wiji Thukul tampil membaca puisi. Seharian kami ngobrol ngalor-ngidul namun tetap fokus bagaimana mengakhiri rezim Soeharto. Nama Wiji Thukul ketika itu sudah dikenal di kalangan aktivis sebagai penyair aktivis sekaligus aktivis penyair. Melalui puisi Wiji Thukul mampu menyuarakan rakyat yang tak berani bersuara. Bagi aktivis, puisi Wiji Thukul adalah menu wajib yang selalu dibacakan pada setiap aksi di kampus maupun di jalanan. Salah satu puisi yang sangat terkenal adalah “Peringatan” (Solo, 1986). Entah berapa kali saya membaca atau mengutip puisi ini dalam orasi saat aksi.
Peringatan
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Menurut Selamat Ginting, mantan mahasiswa Unas yang kini wartawan, saat WijiThukul tampil di Kedutaan Besar Jerman, bersamaan dengan wafatnya Letjen Purn Sarwo Edhie Wibowo. “Saat itu kami, aktivis Unas berangkat ke Cijantung untuk melayat ke rumah duka. Setelah itu menuju kedutaan besar Jerman,” ujar Selamat Ginting. “Peristiwa itu pada 9 November 1989, di situlah pertemuan terakhir dengan Wiji Thukul. Semoga tenang di sisi Yang Maha Kuasa,” tambah Selamat Ginting.
Satu hal yang menarik, kawan-kawan Pijar saat itu mempertemukan Wiji Thukul – saat itu bersama Halim HD– dengan perupa yang juga aktivis Semsar Siahaan. Menurut saya dua seniman ini sangat kritis terhadap Orde Baru melalui karya dan aksinya. Mereka adalah seniman yang menandai zamannya. Thukul dan Semsar bertemu di Solo, Saat itu Semsar sedang melakukan pameran gambar keliling yang difasilitasi oleh Amir Husin Daulay (Depot Kreasi Jurnalistik). Beberapa kota yang dikunjungi antara lain: Bandung, Jogja, Salatiga dan Solo.
Mantan mahasiswa Unas lainnya yang kini terjun di bidang radio, Luzzi Joso Sudirham, mengaku bertemu Wiji Thukul kurang lebih dua kali saat datang ke kampus Unas dan di markas Pijar. “Mas Thukul yang cerdas terlihat dari matanya, tapi sangat rendah hati. Bahkan saat itu saya dapat undangan pernikahannya tapi saya tidak bisa hadir. Di manapun kini mas Thukul engkau dikenang sebagai orang baik yang peka dalam ketidakadilan,” kata Luzzi.
Seingat saya Wiji Thukul adalah pribadi yang bersahaja, saya kadang berbicara dalam bahasa Jawa. Saat itu kami banyak tertawa apalagi saya sedang bergairah menyusun buku humor semacam Mati Ketawa ala Orde Baru. Melalui humor saya percaya akan ada semacam sosiasisasi dan pencerahan tentang rezim dan apa yang mesti dilakukan.
Hari ini 19 Januari, tepat 19 tahun Wiji Thukul hilang, film tentang Wiji Thukul yang disutradarai Yosep Anggi Noen berjudul “Istirahatlah Kata-kata” diputar di 19 kota di Indonesia. Wiji Thukul diperankan oleh Gunawan Maryanto. Turut berperan dalam film yang diproduseri Yulia Evira Bhara antara lain Marisa Anita, Melanie Subono, Arswendy Nasution, dan Jonet Suryatmoko.
Saya menghimbau para aktivis terutama angkatan 1980an dan 1990an untuk menyaksikan film ini. Saya juga akan mengajak para mahasiswa saya untuk menonton. Bahwa kebebasan yang kita miliki saat ini, juga diperjuangankan oleh seorang penyair cum aktivis atau aktivis cum penyair bernama Wiji Thukul.
Hanya satu kata: Nonton!
Yogyakarta, 19 Januari 2017