Kerjasama militer antara Filipina dengan Amerika Serikat memasuki babak setelah terpilihnya Rodrigo Duterte sebagai Presiden Filipina. Rabu (26/10) kemarin, Duterte melontarkan keinginannya agar pasukan AS meninggalkan Filipina dalam kurun dua tahun, bahkan jika diperlukan, dia juga ingin menghapuskan pakta pertahanan dengan AS.
Para pejabat militer Filipina dan AS direncanakan bertemu pada akhir bulan depan untuk memutuskan nasib latihan gabungan kedua negara yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
âSaya ingin, mungkin dalam dua tahun ke depan, negara saya bebas dari kehadiran pasukan militer asing,â kata Duterte. âSaya ingin mereka keluar dan jika saya harus merevisi atau membatalkan perjanjian, kesepakatan eksekutif, saya akan lakukan,â tambahnya.
Duterte sebelumnya telah menyatakan keinginannya agar pasukan AS keluar dari Mindanao karena kehadiran mereka menyebabkan ketegangan di wilayah Filipina Selatan yang memang dikuasai oleh militan Islam.
Sejak berkuasa, Duterte telah berulang kali menyerang AS. Sebaliknya, Ia mengaku nyaman dengan China.
Di Washington, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS mengharapkan Filipina untuk menghormati komitmennya sebagai sekutu AS.
âKami telah mendengar banyak retorika bermasalah saat ini dan ini bukanlah tren positif,â kata Julia Mason.
Mason bahkan menilai pernyataan Duterte mengabaikan banyak fakta dalam hubungan kedua Negara tersebut.
âRangkaian komentar ini tidak menunjukkan kehangatan, luasnya, dan kedalaman kemitraan AS dan Filipina,â tambah Mason.
Menurut Mason, pasukan AS telah memberikan bantuan di Filipina Selatan selama bertahun-tahun berdasarkan permintaan berbagai rezim pemerintahan Filipina.
âKami akan terus menghormati komitmen aliansi kita, dan tentu saja, kami berharap Filipina melakukan hal sama,â ujar Mason.
Sementara itu, para pejabat pertahanan Filipina dan AS direncanakan menggelar pertemuan tahunan, salah satunya memperjelas posisi Filipina terkait keinginan Duterte untuk mengakhiri aliansi pertahanan kedua negara.
Sejarah Panjang
Seperti ditulis Historia, kehadiran militer AS di Filipina sudah lebih dari seabad. Setelah mengalahkan Spanyol pada 1898, AS menguasai Filipina sesuai Perjanjian Paris. Rakyat Filipina di bawah Emilio Aguinaldo, yang memimpin perjuangan kemerdekaan FIlipina dari tangan Spanyol, melancarkan perlawanan hingga 1902. Tapi militer AS terlalu besar untuk dikalahkan.
AS kembali menggenggam Filipina ketika Perang Dunia II hampir berakhir. Tapi gerakan kemerdekaan rakyat Filipina tak pernah berhenti. Melalui Perjanjian Manila, AS akhirnya memberi kemerdekaan kepada Filipina pada 4 Juli 1946.
Tapi cengkeraman AS terus berlanjut melalui Perjanjian Pangkalan Militer yang ditandatangani kedua negara pada 14 Maret 1947. Maka, AS pun membangun Pangkalan Angkatan Laut di Teluk Subic dan Pangkalan Angkatan Udara Clark.
Sebagai imbalannya, AS memberikan pelatihan dan peralatan militer terbatas kepada militer Filipina.
Bagi AS, dulu Filipina merupakan tembok terdepan di sebelah utara Asia Tenggara dari gempuran komunisme, terutama dari China. Menurut Teori Domino yang dianut AS, apabila Filipina jatuh ke tangan komunis, maka wilayah-wilayah di selatannya bakal mengikuti.
Filipina juga dinilai sebagai garis pelindung AS di Pasifik dari serangan negara lain. Peran yang tak kalah penting adalah sebagai penjamin kepentingan ekonomi AS.
Sejak awal, tentangan dari dalam negeri Filipina terus muncul. Senator Tomas Confesor, misalnya, mengecam perjanjian pangkalan militer dengan AS karena tak memberi banyak maslahat buat rakyat Filipina.
âKita berada dalam orbit ekspansi imperium Amerika. Imperialisme belum mati,â ujarnya sebagaimana disitir Stephen R. Shalom, profesor ilmu politik dari William Paterson University, New Jersey, AS, dalam âSecuring the US-Philippine Military Bases Agreement of 1947â dalam www.wpunj.edu.
Namun kuatnya kaki-tangan AS di jajaran elite pemerintahan Filipina, terutama semasa pemerintahan Ferdinand Marcos, membuat upaya penghapusan pangkalan militer AS seolah berjalan di tempat. Baru setelah Presiden Qorazon Aquino naik ke tampuk kekuasaan pada 1986, upaya tersebut mendapat angin segar. Kaum kiri menjadi penggerak utamanya. Pada 1991, melalui voting, Senat sepakat menutup Pangkalan AL Teluk Subic dan Pangkalan AU Clark.