Presiden Joko Widodo saat melantik 33 Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) untuk negara sahabat dan organisasi internasional berpesan dua hal. Pertama, meningkatkan hubungan Indonesia dengan negara sahabat, dan kedua meningkatkan investasi, perdagangan, plus wisatawan. Pendek kata, duta besar pada era Jokowi tak sekadar diplomat, tetapi juga marketing.
Apa sebenarnya tugas seorang duta besar? Menurut Konvensi Wina, tugas duta besar adalah
1) Mewakili negara pengirim di negara penerima, 2) Melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diijinkan oleh Hukum Internasional, 3) Mengadakan persetujuan dengan pemerintah negara penerima, 4) Memberikan keterangan tentang kondisi dan perkembangan negara penerima sesuai dengan undang-undang dan melaporkan kepada pemerintah negara pengirim, 5) Memelihara hubungan persahabatan antar kedua negara. Menurut Wijono Projodikoro, ada tiga tugas yang harus diemban oleh Duta Besar yaitu : 1) Melaksanakan Perundingan (negotiation), 2) Meneropong keadaan (observation), 3) Memberi perlindungan (protection).
Kepada Dubes RI untuk Inggris Rizal Sukma, Presiden Jokowi menggarisbawahi tentang peningkatan hubungan Indonesia dan Inggris terutama di bidang maritim. Sementara Dubes RI untuk Republik Arab Mesir, Helmy Fauzy, selain akan menjalankan pesan Presiden Jokowi, juga mempunyai inisiatif ingin memastikan agar warga Indonesia yang berada di Mesir tak terlibat gerakan radikal.
Jabatan dubes pada era Orde Baru umumnya untuk para pensiunan militer, birokrat berpengalaman, dan tentu saja pejabat karier dari Departemen Luar Negeri. Kini, jabatan dubes bisa berasal dari mana saja termasuk aktivis, akademisi, bahkan dari partai politik. Meskipun demikian, presiden selalu memilih seorang dubes yang tepat untuk negara sahabat, The right person to the right country. Orang yang tepat untuk negara yang tepat.
Namun, seminggu terakhir ini kita mendengar berita miring tentang Dubes RI untuk Jepang Yusron Ihza Mahendra dan persepsi pejabat RI yang kurang baik terhadap dubes kita di luar negeri. Cuitan Yusron yang berbau rasis berkaitan dengan pilkada di DKI Jakarta, memancing reaksi masyarakat termasuk juru bicara Kemenlu RI. Juru Bicara Kemenlu RI menyatakan dubes harus fokus pada tugasnya di luar negeri. Di media sosial Yusron dianggap menyalahi tugas dubes. Bahkan ada yang menulis, demi sang abang, Yusril Ihza Mahendra, Yusron rela melakukan apa saja, termasuk melakukan kebodohan melalui akun twitternya.
Kasus lain, dua pejabat publik kita yaitu Menteri PAN RB dan anggota DPR mengganggap tugas dubes sekadar melayani pejabat yang sedang jalan-jalan di luar negeri. Adalah sekretaris Yuddhy Chrisnandy dan Rachel Maryam yang menulis surat untuk dubes di Australia dan Perancis. Kawan separtai Yuddhy dan keluarga minta difasilitasi saat berkunjung di Australia, sementara Rachel Maryam dan keluarga juga minta fasilitas transportasi selama di Paris. Tentu, bagi yang paham tugas dubes, mereka akan berkomentar, sejak kapan tugas KBRI menjadi pelayan pejabat dan keluarganya yang sedang berwisata?
Sebagai orang yang dianggap Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, dubes bukan berarti bisa melakukan apa saja saat bertugas. Jika tak hati-hati dalam menjalankan tugas Kepala Negara RI, seorang dubes bisa terlibat korupsi. Dua contoh bisa dikemukakan di sini, yaitu Dubes RI untuk Amerika Serikat Sudjadan Parnohadiningrat dan Dubes RI untuk Malaysia Rusdihardjo pada pemerintahan sebelum Presiden Jokowi. Sudjadan korupsi pembangunan Wisma RI di Singapura, sementara Rusdihardjo korupsi penerapan tarif ganda pengurusan surat-surat WNI. Kiprah kedua dubes ini berakhir di balik jeruji bui karena korupsi saat bertugas menjadi orang Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di Washington dan di Kuala Lumpur.