JOGJA –Peningkatan kunjungan wisatawan nusantara maupun mancanegara yang mencapai 10%-15% pada 2015 merupaka bentuk prestasi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Memang kenaikannya sedikit namun cukup bagus, setidaknya begitulah kata Edwin Ismedi Himna, wakil ketua Yogyakarta City Tourism Promotion Board. Ia menjelaskan, di samping prestasi yang didapat, DIY sendiri memiliki masalah dalam meningkatkan branding pariwisatanya, yaitu konektifitas.
Ditemui di Grand Zuri Hotel Jalan P. Mangkubumi No. 18, Edwin memberikan catatan pertama bahwa pariwisata DIY memiliki supply (persedian) hotel yang lebih banyak dibandingkan demand (permintaan) wisatawan. Ia menambahkan, tingkat penghunian kamar (TPK) hotel yang ada pada low season (deretan bulan sepi pengunjung wisatawan) bahkan tidak mencapai 75%. Diklarifikasi berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, TPK bulan Februari 47,66% dan Maret mencapai 49,84%.
“Saat-saat ini adalah terutama di saat low season seperti ini, semuanya pasti mengeluh. Jadilah seperti perang harga dan ini tidak bisa dihindari, bagaimanapun juga secara bisniskan semua hotel harus tetap survive. Mereka butuh cash flow, sehingga harga-harga promo diciptakan masing-masing di mana mereka harus mendapatkan dana untuk, paling tidak untuk membayar gaji karyawan, listrik dan operasional lainnya kan mereka butuh uang,” jelas Edwin.
Catatan kedua dari pria mantan ketua Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies adalah sarana transportasi udara yang kurang independen. Yang dimaksud kurang independen adalah jumlah wisatawan masuk ke regional DIY melalui jalur udara yang selalu disupport oleh dua bandara kota besar, yaitu Jakarta dan Bali. Hal ini dikarenakan Bandara Adisucipto sendiri belum memiliki kapasitas yang mumpuni untuk menerima semua penerbangan langsung dari nusantara, terlebih dari mancanegara. Di samping itu, jalur terbang komersil di bandara Adisucipto harus juga mengatur waktu, melihat bahwa bandara tersebut juga dimiliki oleh Angkatan Udara untuk digunakan sebagai arena latihan terbang.
“Sepanjang bandaranya masih seperti ini, kita masih harus menerima. Sudah tidak dapat diperluas, penerbangan langsung dari internasional juga sudah tidak memungkinkan, melihat dari kapasitas traffic dari Adisucipto ini sudah sangat padat. Untuk landing dan take-off saja harus antri, biasanya kita harus di hold dulu, Ya, harapan kami nantinya bandara ini (baca- bandara internasional Kulonprogo) bisa cepat terealisasi, kita harap kita juga bisa independen,” jelas Edwin.
Edwinmenambahkan, DIY sebenarnya masih berada dalam taraf nyaman untuk dikunjungi, namun meski begitu DIY juga perlu berkembang. Melihat bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sudah dimulai sejak awal tahun ini, pariwisata DIY tentunya tidak boleh statis. Perlu adanya perombakan transportasi yang tidak hanya udara, namun juga darat. Baik itu dengan memanfaatkan fasilitas kereta api dengan jalur dari dan menuju DIY, hingga fasilitas darat dalam kota atau lintas kabupaten yang tentunya dapat kembali dijual. Untuk trasportasi dalam kota (Jogja-Sleman), Jogja memiliki Trans-Jogja. Sedangkan untuk transportasi lintas kabupaten, Jogja hanya mengandalkan mobil dan bus pariwisata rental.