Terkait sengketa lahan di Cengkareng Barat, Jakarta Barat, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri melakukan pemeriksaan terhadap Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, Jumat (22/7/2016). Kepada wartawan, Djarot mengatakan bahwa pemeriksaan dilakukan karena dirinya ikut paraf. Menurut Djarot, hal itu merupakan salah satu rangkaian prosedur pengadaan barang dan jasa di Pemprov DKI Jakarta.
Paraf dimaksud berkaitan dengan pembelian lahan di Cengkareng Barat, Jakarta, oleh Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan pada tahun 2015. Lahan tersebut diperuntukkan bagi pembangunan rusunawa.
“Karena kan saya ikut paraf untuk penetapan lokasi mengenai rusunawa,” kata dia.
Menurut Djarot, paraf dari Wagub dilakukan setelah adanya paraf dari kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang berangkutan, dan sebelum paraf dari Gubernur.
“Paraf salah satunya dari Wagub sebelum diparaf dan ditandatangani oleh gubenur,” kata Djarot.
Tak Ada Kesalahan Prosedur
Sebelumnya, Djarot menegaskan bahwa tak ada kesalahan prosedur dalam pembelian lahan di Cengkareng Barat, Jakarta Barat. Dia menduga, dalam kasus tersebut justru terjadi pemalsuan dokumen.
“Kalau saya lihat (kesalahan) secara prosedur, tidak. Tetapi, di situ diduga ada pemalsuan-pemalsuan dokumen?” kata Djarot di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (20/7/2016).
Pemprov DKI Jakarta diduga salah membeli lahan tersebut karena adanya dokumen ganda. Sebab, berdasarkan putusan Mahkamah Agung, lahan tersebut merupakan milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI Jakarta.
“Ada pemalsuan-pemalsuan dokumen, lahan yang harusnya milik kami dan tercatat dalam aset kami, dibeli sendiri oleh kami. Tapi, keluar sertifikat di lahan itu atas nama orang lain. Padahal, di Mahkamah Agung, kami sudah menang, sampai PK (peninjauan kembali),” kata Djarot.
Oleh karena itu, Djarot menyerahkan kasus ini kepada aparat penegak hukum.
Kasus sengketa lahan di Cengkareng Barat mencuat setelah Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan diketahui membeli lahan tersebut dari Toeti Noeziar pada 2015. Padahal, lahan itu juga terdata milik Dinas Kelautan Pertanian dan Gedung Pemerintahan.
Karena tercatat dimiliki oleh dua pihak, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai ada indikasi kerugian negara sebesar Rp 668 miliar yang merupakan harga pembelian lahan tersebut.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.