
Gempa, tsunami, dan likuifaksi yang melanda Kota Palu, Sigi, dan Donggala pada Jumat 28 September 2018 lalu, setidaknya menjadi pembelajaran warga yang tinggal di Kota Surabaya khususnya dan Jawa Timur umumnya. Pasalnya, bencana yang melanda tiga daerah di Sulawesi Tengah itu, tak lepas dari aktivitas sesar Palu Koro yang membentang di daratan tersebut, sedangkan Surabaya dilewati 2 sesar aktif.
Demikian disampaikan ahli kebumian dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Prof Amin Widodo, dalam diskusi yang digelar di Sekretariat Jaringan aktifis Pro Demokrasi (ProDem) Jawa Timur Sabtu (24/11), di Jalan Gayungsari I No 10 Surabaya. Menurut Amin, seperti Palu, kota Surabaya dilewati 2 sesar aktif, yang sewaktu-waktu bisa terjadi gempa. Para ahli geologi lanjut Amin, menamainya dengan Sesar Surabaya dan Sesar Waru.
“Sesar Surabaya meliputi kawasan dari Keputih hingga Cerme Kabupaten Gresik. Sedangkan sesar Waru ini lebih penjang, mulai melewati Rungkut, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Saradan, bahkan sampai Cepu, Jawa Tengah, “ ungkap Amin.
Guru besar ITS Surabaya ini juga mengatakan, peristiwa gempa memang tidak bisa diprediksi, kapan akan terjadi. Namun alangkah baiknya, jika warga yang tinggal dilintasan patahan, mengenali atau lebih tepatnya tahu akan bahaya yang akan terjadi.
“Merupakan tanggung jawab bersama, supaya masyarakat tahu dan bagaimana cara menghadapi situasi alam ini,“ kata Amin.
Amin juga memastikan, peristiwa alam ini memang merupakan bagian dinamika alam itu sendiri. Jika manusia tidak tahu cara menghadapi situasi alam pasti akan menjadi korban. Banyaknya korban jiwa di setiap bencana di Indonesia. Karena warga kurang memahami cara menghadapi bencana.
“Meski gempa yang pernah melanda Surabaya hanya dua kali, tahun 1867 dan 1953. Gempa, tsunami maupun likuifaksi yang baru-baru ini terjadi di Palu. Akibat kurangnya pemahaman mitigasi kepada masyarakat. Bencana ini mestinya kita kenali, kita selamatkan dan kita meyelamatkan,“ tandas Amin.
Amin kemudian memaparkan contoh peristiwa gempa di Kobe Jepang pada tahun 1995. Menurut survei, warga yang selamat dari gempa, 34 % pertolongan sendiri, 31,9 % pertolongan keluarga, 28% teman dan tetangga, 2,6 % pejalan kaki, 1,7 % tim penyelamat, dan 0,9% dari pertololongan lainnya.
Sementara itu penggagas diskusi Lala Maulana mengatakan, gagasan untuk mengenalkan warga Surabaya dan khalayak Jawa Timur soal kebencanaan ini. Supaya warga tidak panik dalam setiap terjadi bencana.
“Kita ini selalu mengalami kesusahan setiap terjadi bencana. Kesemerawutan penanganana kerapa terjadi, “ ujar Lala.
Lala yang selama ini aktif terlibat dalam penanganan bencana di Indonesia, mulai dari tsunami Aceh 2004, Pangandaran Jawa Barat 2016 hingga Lombok NTB 2018, dan belum lama bencana Palu, Sigi, dan Donggala Sulawesi Tengah. Ia mengaku paham betul, setiap penanganan korban bencana.
“Tidak ada penanganasi secara pasti. Ini terlihat bahwa kita tidak mempunyai edukasi bagaima mengahdapi bencana pra dan sesudah bencana berlangsung,“ jelas Lala.
Masih kata Lala, diskusi Sabtu malam itu, setidaknya harus ada tidak lanjut dari pihak terkait. Pemerintah setidaknya harus terlbat ikut mensosialisasikan tanggap darurat kebencanaan.
“Kami berharap ada respon dari pemerintah. Untuk di-follow upi supaya edukasi tentang kebencanaan,“ tandas Lala.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.