BOGOR – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan ke 2 atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum lama ini ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terbitnya Perpu karena pemerintah memandang genting kekerasan seksual terhadap anak yang dianggap makin meningkat.
“Saya apresiasi terbitnya Perppu tersebut mengingat saat ini kasus kejahatan seksual belakangan ini semakin meningkat. Mengingat Perppu tersebut berlaku pada tanggal diundangkan, maka pemerintah harus segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP),” tukas anggota Komisi II DPR, Diah Pitaloka yang ikut mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) saat diwawancarai indeksberita.com, Rabu (1/5/2016).
Politisi yang juga Ketua Repdem Jawa Barat ini menambahkan, saat ini pihaknya tengah menunggu aturan teknis pemerintah. Sebab, pada Pasal 81A ayat 4 Perppu tersebut berbunyi pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
“Mengingat teknis penerapan Perppu ini bergantung pada PP. Jadi, kita menunggu sanksi teknis pelaku kejahatan seksual untuk memberikan efek jera,” imbuhnya.
Diah menyayangkan selama ini, vonis ringan itu masih kerap muncul ketika perlindungan anak masih diatur Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dan juga setelah pasal-pasal perubahan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yang memperberat sanksi pidana, digunakan.
“Banyak fakta menerangkan, pemberatan hukuman tak diikuti dengan penjatuhan hukuman maksimal di pengadilan terhadap para pelaku. Saat ini, kita di DPR masih menunggu teknis hukuman kebiri. PP menjadi sangat penting karena KUHP juga tidak mengatur hukuman kebiri. Makanya, kami perlu tahu seperti apa pemerintah menerapkan Perppu ini,” tuntasnya. (eko)
Berikut Perpu perubahan hukuman berkaitan dengan Pasal 76D, Pasal 76E Undang-undang No 35/2014 tentang Perubahan atas UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak :
Pasal 76D:
Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 76E
Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Dalam Perpu 1/2016 terdapat perubahan isi pasal sebagai berikut.
1. Isi Pasal 81 menjadi:
Pasal 81:
1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
5. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
6. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
7. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
8. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
9. Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
2. Di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 81A
1. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.
2. Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
3. Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.
3. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 82
1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
4. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. (*)