Pemilukada serentak tahun 2017 nanti adalah pemilukada serentak yang ke dua, yang di ikuti oleh 7 Provinsi, 18 Kota dan 76 Kabupaten, yang menelan biaya Rp. 2,7 Triliun. Biaya itu mahal atau tidak, tergantung bagaimana cara kita melihatnya. Jika pemilukada serentak tersebut kemudian melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki integritas, memiliki kemampuan untuk mensejahterakan masyarakat di wilayah yang dipimpinnya, maka biaya itu menjadi murah. Tetapi jika hasilnya malah melahirkan pemimpin yang korup, yang tidak bisa menjaga diri dari konflik kepentingan, maka anggaran negara Rp. 2,7 Triliun untuk proses politik tadi menjadi pemborosan.
Pemilukada di DKI Jakarta merupakan bagian dari pemilukada serentak yang akan diadakan pada 25 Februari 2017. Dinamika pemilukada DKI bahkan sudah tampak sebelum pasangan calon muncul dan ditetapkan oleh KPUD. Â Proses bagaimana bakal calon gubernur mencari dukungan politik, lalu figur-figur mana yang dicalonkan, sampai ditetapkannya mereka sebagai pasangan calon, terjadi kejutan dan sangat menarik. Itu semua karena terjadi di Jakarta, dimana pusat kekuasaan politik berada, dengan akses terhadap media/informasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Maka tidak heran banyak orang yang menyatakan bahwa pemilukada DKI Jakarta adalah “pilgub rasa pilpres”.
Semakin menarik, saat semua isue politik digulirkan, mulai dari isue tatakelola pemerintahan, bagaimana membangun citra pasangan calon, sampai isue politik identitas yang berbasis pada primordialisme dan agama (SARA).
Tetapi semenarik apapun, dinamikanya harus dikelola dengan baik. Terutama yang berkaitan dengan politik identitas. Hal yang wajar, dalam memperoleh dukungan, seorang calon mengkampanyekan kepentingan orang-orang/kelompok yang memiliki kesamaan latar belakang, suku bahkan agama. Dan kenyataannya, menurut penilaian kami, semua pasangan calon  menggunakan isue-isue SARA (penguatan politik identitas), baik untuk mengalang dukungan, maupun menangkal isue yang berkaitan dengan latar belakang identitasnya.
Yang tidak boleh adalah mempertentangkan perbedaan tersebut, yang bisa berakibat pada tindakan-tindakan yang mengancam demokrasi (pemaksaan kehendak melalui tindak kekerasaan, mengganggu kepentingan umum maupun hak orang lain). Sebab jika itu terjadi, maka itu sudah melanggar hukum, dan instrumen penegakan hukum yang akan bekerja. Dan siapapun yang terlibat harus mau menerima konsekuensinya.
Walaupun dinamika harus dikelola, tetapi jangan mengarah pada pengebirian demokrasi itu sendiri. Negara dengan segala instrumen yang dimilikinya, cukup menjaga agar ekspresi demokrasi tidak merusak fasilitas umum dan mengganggu hak demokrasi orang lain. Biarlah demokrasi kita terus berproses, agar demokrasi semakin berkualitas