“Di akhir tahun 2015 sebenarnya tampak bahwa ekonomi semakin menggeliat, tetapi para ahli dan peneliti masih memperkirakan belum ada peningkatan harga-harga komoditas. Ini situasi yang masih kita hadapi. Yang kedua, pengalaman kita menunjukkan kalau ekonomi melambat penerimaan pemerintahnya itu melambatnya lebih cepat. Jadi dia tidak simetris” Kutipan dari pernyataan Menko Perekonomian yang menarik, yang menggambarkan bahwa kondisi tahun depan masih cukup berat, dan kita masih harus bekerja keras.
Beratnya situasi perekonomian juga tampak dari nilai tukar dan suku bunga yang sangat volatile (sangat naik turun). Untuk menciptakan pertumbuhan 6% diperlukan dana dari luar baik dalam bentuk utang, investasi maupun dana segar dari luar yang main di pasar modal, dan main di surat utang. Itu bukan pilihan, tetapi semuanya harus kita ambil.
Atas pilihan tersebut, maka besar pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri kita dibandingkan dengan nilai ekspor persentasenya sudah diatas 50%. Persentase antara pembayaran cicilan dan bunga utang dibanding nilai ekspor disebut DSR (Debt Service Ratio). DSR saat ini 50% sudah sangat tinggi. Bayangkan pada masa orde baru, DSR dijaga dalam dikisaran 20%. Pada saat krisis tahun 1998 saja besarnya DSR 30%.
Untuk total surat utang kita, 38% berasal dari dana asing, dan ini surat utang dalam negeri. Di pasar modal kita ada dana asing sekitar 60%. Di banding negara lain, misalnya Thailand, jumlah dana asing di pasar modal antara 12-14%. Maka tidak heran kalau ada dana asing pergi sedikit, langsung nilai tukar terganggu.
Ini lah harga yang harus dibayar untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi. Resiko yang harus ditempuh untuk menciptakan lapangan kerja, agar kesejahteraan diperoleh. Maka untuk menghindari resiko, selain faktor ekonomi yang harus diperhatikan, persoalan sosial dan politik harus dikelola, Agar tingkat kepercayaan pada bangsa ini terjaga. Serta penegakan hukum yang tegas bagi setiap tindakan korupsi yang membuat ekonomi kita tidak bersaing.