Sudah banyak kajian, analisa sekaligus riset terkait soal leadership. Namun leadership sebagai bidang ke ilmuan sangat berkembang saat mulai muncul gaya kepemimpinan yang lahir di setiap era revolusi industri.
Awalnya kepemimpinan masih identik dengan pemikiran Carlyle pada tahun 1840 yang dikenal dengan Great Man. Teori yang mengamsusikan bahwa pemimpin hebat adalah orang orang yang memang dilahirkan untuk menjadi pemimpin.
90 tahun kemudian, tepatnya dekade 1930 sampai 1940, teori leadership berkembang menjadi teori the trait leadership, yang di pelopori oleh Alport, dimana pemimpin yang hebat adalah mereka yang di lahirkan ataupun di bentuk dengan kualitas tertentu. Selang tahun 1940 – 1950 kemudian lahir teori yang dinamakan Behavioural Theories, yang menjelaskan bahwa pemimpin merupakan hasil bentukkan dan bukan dilahirkan.
Adanya Teori behavioural inilah yang sekarang membuat orang orang percaya, bahwa siapapun bisa menjadi pemimpin. Salah satunya, di sektor korporasi, baik BUMN maupun Swasta, sudah membuat program-program talent, untuk mempersiapkan estafet kepemimpinan di perusahaan tersebut.
Pembentukkan kepemimpinan dengan talent pool dan program, bisa saja sangat bermanfaat dan terwujud, jika saja kita ada di situasi yang relatif stabil dan aman. Namun sebenarnya, pemimpin yang baik akan muncul dalam situasi yang tidak stabil, karena ia akan teruji saat dia menghadapi satu turbulensi yang tidak pernah dia perkirakan sebelumnya.
Saat ini kita memasuki masa ketidakpastian, yang diistilahkan dengan VUCA (Volatility, Uncertainty, Comlexity and Ambiquity). Banyak faktor yang menyebabkan kondisi VUCA ini, namun banyak orang memperkirakan VUCA ini terjadi karena dunia bisnis mengalami percepatan distruption akibat peralihan ke ekonomi daring dan berbasis aplikasi.
Tanpa diduga bahwa covid 19 menyebabkan satu ketidakpastian juga dalam dunia bisnis. Baik mereka mencegah menggunakan model lockdown, softdown maupun yg model social distancing ala jepang dan korea selatan, semuanya mendapatkan imbas dari ketidakpastian ekonomi.
Kepemimpinan akan teruji jika mampu mengatasi situasi VUCA ini. Apalagi situasi ini bisa masuk dalam kategori forcemajeur. Dalam situasi ini kita harus menggunakan mitigasi maupun pendekatan menajemen crisis, sehingga bukan saja dibutuhkan kecepatan melainkan strategic.
Dalam Behauvioral Theori, ada dua persepktif pendekatan yang dilakukan, yaitu mereka yang setia dengan tugas tugasnya, atau mereka yang mengutamakan manusianya (masyarakat yang dipimpinnya), bahkan bisa keduanya. Dalam menghadapi covid 19 maka kita bisa melihat kemampuan respon dari para pemimpin di daerah untuk mensikapi situasi dengan gaya kepemimpinan yang ada, dalam perspektif tersebut.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, disamping memastikan pelaksanaan tugas, ia juga melakukan pendekatan kepada masyarakatnya. Sehingga dalam mensosialisasikan upaya pencegahan penyebaran Covid 19, model blusukkan masih dia anggap efektif, disamping sosialisasi dengan infografis melalui sosial media untuk kalangan milineal.
Membangun alternatif agar kebutuhan yang penting dapat terpenuhi, juga diakukan Ganjar. Contohnya dalam penyediaan APD seperti masker. Ia mampu melepaskan diri dari ketergantungan import dengan melibatkan UMKM. Hasilnya, sehingga kebutuhan subtantif melawan covid 19 seperti masker dan APD lainnya, dapat terpenuhi.
Hal yang menarik adalah Kepala Staf Angkatan Darat, Andika Pratama. Disamping memang menjadi kebiasaannya mengunjungin para prajurit, namun kemampuan mendengar keluh kesah merupakan gaya kepemimpinan yang tanpa jarak.
Tentu masih banyak contoh kepemimpinan lainnya yang bisa kita ambil, seperti kepala daerah Jawa Timur yang menyapa dan memberikan kekuatan warganya, dan membuka tangannya untuk bekerja sama dengan para ulama. Atau Walikota Surabaya yang melakukan gerakkan cepat menyediakan wadah cuci tangan. Di Jawa Barat pun demikian melakukan banyak hal yang menunjukkan kualitas seorang pemimpin.
Mereka adalah pemimpin yang bukan hanya fokus pada pelaksanaan tugasnya, namun mereka juga pemimpin yang menyentuh orang orangnya. Sekalipun kita memasuki era revolusi industri 4.0, namun persentuhan kepada orang orang masih sangat di perlukan.
Pembentukkan kepemimpinan dengan program dengan talent pool penting dan diperlukan untuk memastikan adanya estafet kepemimpinan. Namun terlebih penting adalah kepemimpinan yang peka dalam melihat realitas. Dan itu bukan hasil pembentukkan melainkan muncul karena adanya kesadaran. Dan covid 19 merupakan pandemi sekaligus sarana membangun kapasitas kepemimpin yang memiliki kesadaran.
Penulis Taufan Houneman, aktivis 98 Sekjen Fornas Bhineka Tunggal Ika
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.