Adakah yang pernah mendengar nama Peltu Tatang Koswara? Pada umumnya masyarakat hanya mengenal nama perwira tinggi, itu pun tidak seluruhnya, karena sudah ribuan jenderal yang pernah muncul di negeri kita. Kalau jenderal saja kadang tidak dikenal, terlebih lagi tamtama atau bintara, kecuali bila tamtama atau bintara itu menorehkan prestasi luar biasa.
Buku yang berjudul Satu Peluru Satu Musuh Jatuh (Kompas, 2016), bercerita tentang salah satu bintara TNI AD yang pernah menorehkan prestasi luar biasa, yakni almarhum Peltu (Purn) Tatang Koswara (1946-2015), yang diakui sebagai sniper (penembak runduk) kelas dunia. Sebelum diterbitkannya buku yang ditulis A Winardi ini, nama Tatang sudah pernah disebut-sebut dalam buku karya Peter Brook Smith, yang berjudul Sniper: Training, Technique and Weapons (penerbit St Martins Press).
Buku tersebut membahas tentang sniper legendaris tingkat dunia, salah satunya adalah Tatang Koswara. Peter Brook Smith menyusun peringkat 20 besar sniper kelas dunia, berdasarkan jumlah sasaran yang tereliminasi, dan Tatang masuk peringkat 14, dengan “korban” 41 orang (confirmed kills). Bukan hanya untuk Indonesia, Tatang juga satu-satunya orang Asia yang masuk daftar peringkat 20 besar tersebut. Sekadar gambaran, peringkat nomor satu diduduki Kopral Simo Hayha (Finlandia), dengan korban 500 orang lebih, dalam Winter War (1939-1940) melawan Rusia.
Belantara Timor Leste
Kemahiran Tatang Koswara sebagai penembak runduk teruji di belantara Timor Leste, saat terlibat dalam Operasi Seroja dulu, pada akhir dasawarsa 1970-an. Timor Leste adalah palagan untuk mengasah dan mematangkan kemampuannya sebagai penembak runduk sejati. Dalam operasi di Timor Leste pula, tepatnya di Lautem (Los Palos, 1977), Tatang mengeksekusi sasarannya untuk pertama kali.
Tidak setiap prajurit mampu memperoleh kualifikasi penembak runduk, selain bakat, juga melalui serangkaian pelatihan khusus. Dalam setiap satuan infanteri, seperti kompi atau bataliyon, selalu diperkuat beberapa penembak runduk. Penugasan bagi penembak runduk biasanya langsung diberikan oleh danyon, untuk melaksanakan misi rahasia, dengan perhitungan akan berdampak signifikan dalam sebuah operasi tempur, misalnya mengeksekusi komandan pasukan lawan.
Demikian juga dengan Tatang Koswara, saat operasi di Timor Leste dulu dia langsung di bawah Komandan Satuan Tugas (Dansatgas) Pamungkas Kol Inf Edi Sudrajat (Akmil 1960), yang di kemudian hari sempat menjadi KSAD (1988-1993). Target utama Satgas Pamungkas adalah melumpuhkan Presiden Timor Leste (versi Fretilin) Nicolau Lobato. Dalam istilah teknis di kalangan penembak runduk, figur seperti Lobato biasa disebut sebagai sasaran terpilih (high value).
Setelah posisi Lobato diketahui, Dansatgas Pamungkas membentuk tim pemburu yang dipimpin Mayor Yunus Yosfiah (Akmil 1965, terakhir Menpen), yang saat itu menjabat Danyon 744/SYB. Tim pemburu merupakan gabungan dari Yonif 744, Yonif 401/Banteng Raiders, Yonif 700/Raiders, dan Tim Nanggala 28 dari Kopassus di bawah Kapten Prabowo Subianto. Tatang sendiri masuk dalam tim pemburu ini, atas perintah langsung Edi Sudrajat.
Pada Desember 1978, Lobato akhirnya berhasil ditembak. Gugurnya Lobato juga menandai berakhirnya Satgas Pamungkas. Tatang Koswara kemudian diperintahkan kembali pada kesatuannya di Pussenif (Pusat Kesenjataan Infanteri) di Bandung. Edi berpesan pada Tatang, agar dia merahasiakan segala capaiannya selama operasi di Timor Leste, hingga akhirnya namanya muncul di buku Peter Brook Smith, termasuk buku yang kita bahas ini.
Gugurnya Lobato masih menyisakan misteri sampai sekarang, sebenarnya siapa, atau setidaknya prajurit dari kesatuan mana yang berhasil melumpuhkannya. Belum ada kepastian soal itu. Termasuk bagi Tatang Koswara sendiri, karena dia juga tidak pernah mengklaim tewasnya Lobato berkat dirinya, atau biasa disebut sebagai confirmed kills.
Tidak Sempat Secapa
Sebagaimana prajurit yang lain, dan manusia pada umumnya, Tatang Koswara juga ingin sejahtera, yang bagi tentara ditandai dengan naik pangkat atau naik jabatan. Salah satu cara untuk mencapai itu, adalah melalui lembaga pendidikan. Pada bagian ini Tatang kurang beruntung, dengan berbagai sebab, Tatang tidak bisa mengikuti Secapa (Sekolah Calon Perwira) di Bandung.
Padahal kalau dilihat dari prestasinya, seharusnya sudah memadai bagi Tatang Koswara untuk masuk Secapa. Dia sudah terlatih sebagai penembak runduk sejak masih tamtama, salah satunya karena kemampuan ini pula, dia bisa masuk Secaba (Sekolah Calon Bintara). Namun, ketika ingin masuk tahapan berikutnya (Secapa), jalan Tatang Koswara kurang mulus. Padahal bila ingin mencari “sponsor”, Tatang bisa menemui Edi Sudrajat, mantan komandannya yang sudah jadi jenderal.
Namun begitulah, manusia boleh berangan-angan, Tuhan jua yang menentukan. Menurut ceritanya dia sempat kecewa berat, karena Tatang tahu persis siapa rekannya yang “menyerobot” kursi calon siswa Secapa, yang seharusnya menjadi miliknya. Berkat pengalamannya sebagai penembak runduk, dia bisa meredam emosinya, agar terus bersabar menghadapi kenyataan pahit itu.
Karena tidak sempat ikut Secapa, pangkat Tatang Koswara memang hanya sampai Peltu (pembantu letnan satu), pangkat tertinggi yang bisa dicapai seorang bintara seperti dirinya. Walau “hanya” Peltu, Tatang Koswara tetaplah menjadi kebanggaan TNI, yang ikut mengangkat nama bangsa, selaku penembak runduk legendaris tingkat dunia.
Penulis Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.