Bantul – Masih ingat Elanto Wijoyono? Ya, dialah yang menghebohkan dunia maya dan dunia nyata karena aksi heroiknya menghadang konvoi moge di sebuah ruas jalan di Yogyakarta, 15 Agustus 2015 lalu.
Kamis (8/9), indeksberita menemuinya di kantornya, Combine Resource Institution yang terletak di Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Kec. Bantul, khusus untuk bincang-bincang seputar calon-calon walikota yang akan berlaga pada Pilkada Yogya 2017 mendatang. Berikut adalah ringkasan penuturannya.
Dalam konsep demokrasi, menurut Elanto, pemimpin dipilih oleh rakyat dan ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, baik menggunakan jalur partai politik atau menciptakan sistem baru yang disebut independen. Kriteria pemimpin yang baik, jujur, adil dan amanah, sudah menjadi dasar dalam mencapai kesejahteraan yang didambakan oleh masyarakat pada umumnya.
Ditambahkan Elanto, Kota Yogyakarta mimiliki kasus yang berbeda. Kota yang berada pada regional dengan status “keistimewaan” ini tidak cukup membutuhkan kriteria calon pemimpin pada umumnya.
Ia lantas menyebut satu aspek yang benar-benar masyarakat kota pelajar ini butuhkan, yaitu bebas intervensi dari Kesultanan yang mana Sultan juga sebagai Gubernur DIY maupun Pakualaman.
“Pemimpin Kota Yogyakarta yang sebenarnya kita butuhkan adalah pemimpin yang tidak menjadi subordinat dalam artian yang konotatif, terhadap Gubernur DIY yang juga kapasitasnya sebagai Sultan. Dalam hal ini pada banyak aspek cukup mempengaruhi ruang kebijakan pemda kabupaten dan kota,” tutur Elanto.
Elanto menjelaskan, peran dari Kesultanan maupun Pakualaman sangatlah besar, tidak hanya pada masyarakat dalam satu regional, bahkan juga pada pemerintahan daerah. Hal ini tidaklah lain bahwa baik Keraton dan Pakualaman adalah tombak acuan kebudayaan di DIY, khususnya Kota Yogyakarta.
Besarnya peran tersebut, sambungnya, berdampak pada restrukturisasi paham pemerintahan yang awamnya masyarakat kenal, hingga pada akhirnya terjadi beberapa pelanggaran yang mana juga dilakukan oleh lingkaran kerabat pemimpin kebudayaan regional istimewa ini dan juga atas izin pemda setempat.
“Kita banyak melihat indikasi pelanggaran Haryadi Suyuti (Walikota Yogyakarta) pada konteks perizinan misalnya, walaupun indikasi itu juga harus dibuktikan secara hukum. Dan kita tahu beberapa proyek pembangunan entah itu hotel, apartemen, pusat perbelanjaan, atau mungkin bahkan taman bermain, ternyata orang-orang didalamnya, entah itu juga pemrakarsa atau CEO atau komisaris lain itu juga berada di lingkarang kerabat Keraton, entah Kesultanan entah Pakualaman,” tambahnya.
Aktivis proyek “Jogja Ora Didol, Warga Berdaya” ini menambahkan bahwa meskipun calon walikota ini berasal dari partai politik dengan latar belakang yang baik maupun dengan segala prestasinya sehingga masuk dengan jalur perseorangan, apabila tidak berada di atas semua golongan baik dari parpolnya maupun peran dari Kesultanan maupun Pakualaman, kota Yogyakarta tetap jalan ditempat.
“Kalau prinsip-prinsip dasar dan intervensi saja tidak terpenuhi, yang terjadi ya apa yang kita lihat sekarang. Hingga moratorium hotel pun diharuskan untuk diperpanjang,” jelasnya.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.