“Jika kau haus dalam keringnya dunia, maka teguklah ilmu dari sumber yang jernih”
Ini tentang arah yang mengantarkan kita kejalan pulang. Pulang, setelah sekian lama mengembara. Pulang, untuk kembali mengiat dan paham dari mana, dan hendak kemana kita.
Pondok Pesantren Miftahul Huda, menjadi Mihrab para ‘Alim Ulama Indonesia dalam menentukan masa depan Umat Islam Indonesia, juga dunia. Tempat dimana para santri bergumul kepada Kiai. Tempat orang-orang mencari berkah, juga karomah. Tentu beserta ridho Tuhan yang maha kuasa.
Bagi mereka yang belum mengenal Nahdlatul Ulama, momentum ini boleh jadi ta’aruf untuk kemudian yakin hidup berjuang bersama Nahdliyin. Bagi Nahdliyin, ini adalah salah satu alasan untuk pulang dalam suasana kesantrian yang kental. Kembali memeperkuat silaturahim bertabur ilmu-ilmu kehidupan.
Sebagaimana Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’alim, yang dikarang Mbah Hasjim Asy’arie. Setiap manusia adalah Muta’alim, dalam setiap nafas kehidupannya. Tiada manusia beriman, yang jauh dari sumber-sumber ilmu. Ilmu bukan saja sebatas skema-skema logika, kendati amaliah dan manfaat luas bagi manusia.
Dihikayatkan sabda Rasullulah dalam Kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’alim;
إذا رأيتم رياض الجنة فارتعوا فقيل يا رسول الله وما رياض الجنة, حلق الذكر
“Apabila kalian melihat taman-taman surga, maka tempatilah. Kemudian dikatakan, “Wahai Rasulullah? apa yang dimaksud dengan taman surga itu?
”Beliau menjawab: “Taman surga itu adalah taman yang digunakan untuk pertukaran ilmu”
Begitu jelas Sabda Rasullulah, dalam keutamaan ilmu. Ilmu kerap tersingkap dalam kabut skema logika. Kita tidak tiba pada hikmah, tanpa memperluas, serta memperdalam samudra batiniah.
Skema logika dan teropong metodologis membantu kita dalam proses internalisasi pengetahuan. Sesekali dua alat bantu itu mecetak kebenaran ilmiah. Kendati keutamaan ilmu yang disyiarkan Mbah Kiai Hasjim, ingin mengantarkan kita pada kebenaran Illahiah (Habluminallah). Tanpa satu bait pun menegasikan hubungan sosiologis manusia (habluminannas). Maka keutamaan sebuah ilmu berpuncak pada amaliahnya, bukan semata-mata ketangkasannya mengolah bahasa.
Seorang Muta’alim (penimba ilmu) wajib dibentengi dengan sifat wira’i sebagai satu fungsi kontrol atas dirinya. Wira’i adalah sebuah kehati-hatian dalam setiap situasi dan tindakan. Dia harus menjauhkan dirinya dari hal-hal yang merusak dirinya. Termasuk akhlak dan badaniah.
Mbah Hasjim juga meninggalkan wasiat untuk kepada para guru, dalam menjaga akhlak dan curahan ilmu kepada para Muta’alim santri. Sifat tawadlu’ yang semestinya senantiasa mengisi lumbung hati dan pikiran para Guru, Ustadz juga Kiai. Sifat rendah hati kepada sesama makhluk ciptaan Allah SWT. Sifat yang selalu membimbing manusia dalam kualitas cinta terbaik.
Dalam Kitab Ta’lim Muta’alim, karangan Al ‘alamah Syaikh Burhanuddin Az zanurji. Kembali dirisalahkan Syi’ir Imam Syafi’i , yang berbunyi ;
وقد حكى عن الشافعى رحمة الله عليه أنه قال: العلم علمان: علم الفقه للأديان، وعلم الطب للأبدان، وما وراء ذلك بلغة مجلس.
“ilmu itu ada dua, yaitu ilmu fiqih untuk mengetahui hukum agama, dan ilmu kedokteran untuk memelihara badan”
Pesan itu mengisyaratkan bahwa ilmu bukan semata-mata yang kasat oleh pengelihatan kita. Tetapi juga sesuatu yang begitu halus, bahkan hanya bisa dirasakan oleh kalbu yang jernih.
Buah Ilmu Dari Pohon Nahdlatul Ulama
Nabi Adam SAW, dipisahkan oleh Hawa dan lantas dikirim ke bumi. Karena memakan buah Kuldi. Adam terhasut oleh ajakan Iblis hingga melanggar peraturan Allah SWT.
Tetapi buah-buah ilmu yang tumbuh subur dari pohon Nahdlatul Ulama, patutlah kita panen. Sebagai sebuah bangsa, kita wajib mensyukuri atas nikmat ber-Islam yang khidmat. Yang saling asuh, teduh dengan semangat cinta sesama manusia.
Itulah buah yang tumbuh, di taman Surga, sebagaimana sabda Rasullulah. Pohon itu bukan saja memberi sumber kehidupan dari buah-buah yang tinggi syafaat. Kendati juga, menjadi rumah untuk segala pengetahuan. Tempat berteduh dan merefleksikan segala amaliah.
Begitu banyak contoh-contoh kebajikan yang tidak bisa dilupakan dalam perjalanan bangsa Indonesia. Mbah Hasjim, memaklumatkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Sebagai bentuk kecintaanya pada tanah air dan bangsa Indonesia. Gus Dur, mewakafkan dirinya sebagai jembatan Reformasi 1998. Gus Dur rela berdiri di shaf terdepan menumbangkan rezim otoritarian menuju redormasi. Tetapi juga Gus Dur rela dirinya ditumbalkan paling awal dalam perjalanan reformasi. Bersama Gus Dur, transisi politik Indonesia jauh dari tumpah darah massal.
Dari Banjar, Nahdlatul Ulama memberi pelajaran baru. Bahtsul Masail di Konferensi Alim Ulama dan Musyawarah Nasional NU, mengusulkan untuk menghapuskan diksi kafir. Keputusan ini bukan hal yang mudah bagi kaum Nahdliyin.
Tetapi kita patut meyakini, bahwa para Ulama kita mengutamakan kehidupan berbangsa yang harmonis. Selaras antara kehidupan spritual dan politik. Sudah saatnya para Nahdliyin muda utuk berjibaku memutus mata rantai kebencian juga kekerasan ‘atas nama agama’.
Menghilangkan diksi ‘kafir’ dalam ruang publik adalah upaya awal kita menyuburkan taman surga. Kehidupan sosiologis kita tidak dengan mudah terbentuk demarkasi kebencian hanya karena konstruksi kata kafir. Para alim Ulama memiliki segudang dalil dalam memperkuat uslan itu.
Kendati yang terpenting bagi kita, meyakinkan para umat bahwa apa yang menjadi keputusan para Alim Ulama, adalah sebuah polemik pemikiran yang mengandung makna dari Ilmu. Meskipun kita mengerti, kebenaran tidak mudah diterima. Dan tugas kita, memastikan nilai ajaran itu tegak melawan kebencian serta kebohongan.
Penulis : Abi Rekso Panggalih-pemerhati masalah sosial
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.