Sabtu, 30 September 23

Biografi KSAU Pertama Suryadi Suryadarma : Pangkat dan Jabatan Bukanlah Segala-galanya

Penerbit Kompas baru saja menerbitkan biografi Marsekal Suryadi Suryadarma, KSAU pertama (1946-1962). Salah satu sisi menarik dari perjalanan hidup Marsekal (Laksamana Udara) Suryadi Suryadarma adalah usaha kerasnya agar bisa menjadi penerbang pesawat tempur. Meski sedikit berliku, akhirnya memang tercapai juga, bahkan Suryadi bisa menjadi KSAU.

Dalam posisi sebagai KSAU inilah, nama Suryadi selalu dikenang hingga sekarang. Satu hal yang agak unik adalah, meskipun pernah menjadi KSAU selama bertahun-tahun, pendidikan perwiranya bukan diperoleh dari AAU atau yang sejenisnya, namun dari Akademi Militer Belanda (KMA) Breda, yang lulus tahun 1934. Benar, pada mulanya Suryadi adalah seorang perwira infanteri yang berdinas di KNIL.

Saat masih berdinas di KNIL, Suryadi sempat mengikuti pelatihan penerbang di Kalijati, Subang. Namun di saat-saat terakhir gagal meraih brevet penerbang, karena tindakan diskriminatif dari komandan sekolah penerbang tersebut. Kemudian Suryadi dialihkan pada korps yang masih berdekatan, yaitu sebagai navigator. Dalam posisi sebagai navigator Militaire Luchtvaart (Dinas Penerbangan Militer) KNIL, Suryadi sempat melakukan misi pengeboman pada armada kapal Jepang, yang sudah mulai merapat ke Indonesia, pada Januari 1942, di wilayah udara Tarakan (kini masuk provinsi Kalimantan Utara). Perlu dijelaskan sedikit, dalam sistem KNIL, matra udara tidak berdiri sendiri, namun di bawah KNIL, jadi sebagai pendukung operasi Angkatan Darat.

Meskipun awalnya dididik sebagai perwira infanteri KNIL, namun begitu diangkat sebagai KSAU, Suryadi begitu menghayati jabatannya. Sehingga dia berhasil membangun sebuah kekuatan matra udara, dari kekuatan yang sangat minim, hingga berhasil memasuki era supersonik, dengan datangnya pesawat tempur jenis MiG, dengan berbagai variannya.

Menyiapkan Penerbang

Salah satu program yang diutamakan Suryadi usai berakhirnya Perang Kemerdekaan adalah menyiapkan SDM AURI (nama terdahulu TNI AU) andal, khususnya untuk memenuhi kebutuhan penerbang. Benar penerbang adalah tulang punggung AURI. Terlebih saat itu AURI memperoleh limpahan sejumlah armada pesawat dari tentara  udara  (Militaire Luchtvaart) Belanda, namun belum cukup tenaga (khususnya penerbang) untuk mengawakinya. Untuk itulah Suryadi mengirimkan sejumlah pemuda ke lembaga pendidikan penerbang TALOA di California, AS dan  sekolah penerbang di India.

Pemuda-pemuda ini sengaja dikirim ke AS dan India mengingat Indonesia belum memiliki lembaga pendidikan penerbangan reguler, sebab lembaga yang  ada lebih bersifat darurat, seperti Sekolah Penerbang Maguwo di Yogyakarta, di bawah asuhan Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto. Program kaderisasi penerbang yang digagas Suryadi berbuah manis, karena salah seorang lulusan TALOA, yaitu Komodor Omar Dani, kelak yang menggantikan dirinya sebagai KSAU pada awal tahun 1962. Dalam perkembangannya masih ada dua orang lagi lulusan TALOA yang berhasil menjadi KSAU (selain Omar Dani), yaitu Sri Mulyono Herlambang dan Saleh Basarah.Dua nama legendaris penerbang tempur TNI AU, juga lulusan TALOA, yaitu Komodor Leo Wattimena dan Komodor Ignatus Dewanto.

Sebagai perwira hasil tempaan sebuah akademi (KMA Breda), Suryadi sadar betul tentang arti penting sekolah atau akademi untuk mencetak seorang perwira TNI AU. Pada masa itu, tinggal matra udara yang belum memiliki akademi bagi pembentukan perwiranya, sementara bagi matra darat sudah ada AMN Magelang, dan AAL Surabaya bagi matra laut. Bagi Indonesia sendiri, pendidikan untuk calon perwira, sebenarnya merupakan tradisi yang diadopsi dari Belanda.

Untuk itu Suryadi mulai merintis pendirian lembaga pendidikan yang kemudian lebih dikenal sebagai AAU di Yogyakarta. Sebagai perbandingan, sekolah penerbang TALOA, kampus bagi calon perwira AU, sebenarnya belum masuk kategori akademi penuh (AAU), mengingat pendidikan di TALOA hanya berlangsung setahun. Namun sayang, ketika AAU siap untuk mendidik calon penerbang, Suryadi sudah tidak lagi menjadi KSAU. Namun nama Suryadi sebagai penggagas  pembentukan lembaga pendidikan perwira dirgantara tersebut, akan selalu dikenang.

Hubungan dengan Nasution

Salah satu bagian menarik dari buku ini adalah, bahasan soal hubungan yang tidak harmonis antara Suryadi dan KSAD Jenderal AH Nasution. Dari bacaan yang lain kita juga mengetahui, bahwa Nasution rupanya sering berkonflik dengan koleganya sesama pimpinan TNI.

Dengan alasan masing-masing, Nasution juga konflik dengan Kolonel Zulkifli Lubis dan Kolonel Bambang Supeno. Konflik dengan Kolonel Zulkifli Lubis demikian kerasnya, hingga menimbulkan perpecahan di TNI AD, dan memuncak pada pemberontakan PRRI/Permesta.

Ada beberapa petunjuk soal terjadinya konflik antara Suryadi dan Nasution, sebagaimana dijelaskan dalam buku ini. Sekadar ilustrasi cukup digambarkan dua peristiwa saja. Pertama, Nasution  menganggap Suryadi insubordinasi, sebab tidak mematuhi perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman, agar seluruh anggota TNI bergerilya saat tentara Belanda mulai menyerbu Yogya, pada Clash II (Desember 1948). Kedua, Suryadi dipersalahkan dalam Pertempuran Laut Aru (Januari 1962), karena pesawat AURI dianggap tidak memberikan perlindungan pada armada Angkatan Laut, hingga mengakibatkan gugurnya Komodor Yos Sudarso.

Dalam buku ini pula, Suryadi sudah memberikan argumentasi yang masuk akal, menanggapi tuduhan AH Nasution tersebut. Tampaknya Nasution sendiri dihinggapi (semacam) “sindroma” KMA. Karena Nasution merasa bahwa dia tidak sempat menyelesaikan sekolahnya di KMA Bandung, maka dia selalu terobsesi,  bahwa dia tidak kalah — dalam hal kepandaian dan kekuasaan —  dibanding perwira lulusan KMA seperti Suryadi

Perwira Berkarakter

Saat melepas jabatan KSAU, karena desakan dari Nasution dan KSAL Laksamana RE Martadinata, Suryadi menanggapinya secara datar, tidak emosional. Sikap Suryadi yang biasa-biasa saja,   merupakan jejak pembentukan karakter saat di KMA Breda dulu, bagaimana mereka dibentuk menjadi perwira yang memiliki integritas dan harga diri. Secara universal, yang lebih diutamakan dalam pendidikan calon perwira, utamanya di Belanda,  adalah pembentukan karakter para siswanya, bukan sekadar teknis kemiliteran. Sejak masih taruna mereka sudah diarahkan, bagaimana harus berperilaku, biasa disebut sebagai kode kehormatan (code d’honour) taruna: tidak boleh berbohong, sportif atas kesalahan yang dibuat (sikap ksatria), dan saling menghormati sesama teman (kolegial).

Salah satu prinsip kepemimpinan militer adalah keteladanan, seorang pemimpin (komandan) tanpa keteladanan, adalah pemimpin tanpa kharisma, yang  hanya akan menjadi bahan tertawaan anak buah. Buku ini juga memberi pesan pada situasi aktual di Tanah Air: bila  terjadi kemacetan dalam satu bagian dari sistem organisasi, dan pemimpin itu tidak paham di bagian mana yang macet dan bagaimana memperbaikinya, cepat atau lambat, dia akan menuai badai kegagalan di kemudian hari.

Akhir kata, biografi Suryadi ini mengingatkan kembali tentang tanggungjawab moral seorang pemimpin, sebagaimana acapkali dikatakan, bahwa jabatan adalah amanah, bukan untuk kebanggaan diri dan keluarganya. Sejarah telah memberi cukup pelajaran, bila seorang pemimpin abai terhadap bawahan atau rakyat yang dipimpin, pada gilirannya kelak, bawahan atau rakyat yang mengabaikan pemimpinnya.

 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait