Rabu, 22 Maret 23

Berkaos Kita Teguh Bercerai Kita Chaos

Jangan menganggap enteng kaos. Seperti humor atau puisi memang tak bisa meruntuhkan sebuah rezim. Tapi kaos bisa menyuburkan perlawanan terhadap pemerintah.

James Dean, bukan Dilan, mengenakan kaos oblong sebagai simbol pemberontakan kaum muda dalam film Rebel Without A Cause (1955). Itulah puncak kaos oblong mendunia. Sebelumnya kaos mulai dikenal di seluruh dunia lewat John Wayne dan Marlon Brando yang memakai pakain dalam tersebut untuk pakain luar dalam film-film mereka. Dalam A Streetcar Named Desire (1951) Marlon Brando membuat gadis-gadis histeris dengan kaos oblongnya yang sobek dan membiarkan bahunya terbuka.

Menurut Merriam-Webster’s Dictionary (1920) istilah “T-Shirt” (mungkin diambil berdasar bentuknya huruf T) baru muncul pada Perang Dunia II. Ia menjadi perlengkapan standar dalam pakaian militer di Eropa dan Amerika Serikat (T-Shirt King). Kaos pernah dianggap sebagai pakaian dalam yang tidak pantas dikenakan sebagai pakaian luar. Memakai kaos adalah tindakan yang unfashion. Tapi itu dulu zaman old.

Tetap Jokowi

Kini, dengan semakin tumbuhnya industri periklanan, kaos merupakan baliho atau bilboards mini yang cukup efektif untuk mengkomunikasikan sebuah produk, termasuk untuk Political Marketing. Dalam pemasaran politik yang dijuan adalah party (partai), person (kandidat) dan policy (kebijakan). Karena itu di tahun politik ini kaos menjadi pembicaraan publik hingga seorang Presiden Joko Widodo ikut membicarakan kaos.

Bermula dari ramainya di media sosial hastag #2019GantiPresiden. Entah di dunia nyata apakah juga ramai orang membuat dan memakai kaos #2019GantiPresiden. Saat berbicara pada acara Konvensi Nasional Galang Kemajuan Tahun 2018, di Bogor, Jawa Barat, (7/4), Presiden menjelaskan bahwa dirinya tidak ambil pusing dengan gerakan di sosial media #GantiPresiden2019 yang belakangan mencuat. Gerakan tersebut kemudian dibuat dalam bentuk kaos. “Sekarang isunya ganti lagi, isu kaos. Ganti presiden 2019. Ya kan? Pakai kaos. Masak kaos bisa ganti presiden,” kata Presiden.

Terkait pernyataan Jokowi di atas, wartawan senior Uni Lubis menyindir melalui cuitan di twitter @unilubis :
Jokowi: masak pakai kaus #GantiPresiden2019 bisa ganti Presiden.
Ya memang gak ada jaminan. Lalu mengapa dibahas di pidato, Pak?
#galaudetected.

PaKaI-1

Tak sedikit yang mengingatkan jangan menganggap enteng selembar kaos. Sesungguhnya sebuah kaos adalah kekuatan nyata melebihi ribuan like di media sosial atau tanda tangan di sebuah petisi online. Memiliki dan memakai kaos adalah tindakan nyata menyetujui dan mendukung pesan yang ditulis di kaos tersebut.

Mari kita melihat contoh di negara tetangga. Revolusi EDSA atau Revolusi kuning adalah sebuah demonstrasi besar tanpa kekerasan di Filipina yang terjadi pada 1986. Aksi damai selama empat hari yang dilakukan oleh jutaan rakyat Filipina di Metro Manila mengakhiri rezim otoriter Presiden Ferdinand Marcos dan pengangkatan Corazon Aquino sebagai presiden. EDSA merupakan singkatan dari Epifanio de los Santos Avenue, sebuah jalan di Metro Manila yang merupakan tempat demonstrasi. Mayoritas demonstran menggunakan kaos warna kuning yang disablon secara swadaya..

Persaingan politik di Thailand antara 2007 sampai 2010 antara UDD (Kaos Merah) dan PAD (Kaos Kuning). Kaos Merah terdiri dari golongan kelas bawah, kaum proletar, petani dan buruh. Sementara, Kaos Kuning mewakili golongan kelas menengah. Pendukung Kaos Merah, mengklaim media Thailand tidak adil terhadap mereka, karena pemodal media di Thailand adalah simpatisan Kaos Kuning.

Pesinden

Kaos Kuning mengklaim bahwa Kaos Merah adalah “anti raja”. Bentrok antara kuning dan merah terjadi di Bangkok pada 2007, 2009 dan 2010. Memakan puluhan korban tewas. Di ibukota Thailand itu, jika seseorang bermuka Asia, maka yang ditanyakan pertama kali adalah “Are you Red or Yellow?” Salah jawaban bisa fatal. Termasuk bila salah dalam memilih warna baju bila bepergian.

Banyak yang percaya kaos punya kekuatan. Saat awal 1990an di Indonesia mengajak orang untuk ikut aksi menentang pemerintah bukan perkara mudah. Aksi dengan peserta 20 orang aktivis itu sudah cukup. Cukup melelahkan. Namun para aktivis selalu kreatif di tengah keterbatasan. Jika massa tak banyak maka harus melakukan sesuatu yang menarik media. Maka saat pengunjung sidang yang mengadili aktivis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kian sepi pada pertengahan 1990, para aktivis dapat ide demo dengan mengenakan kaos yang masing-masing aktivis beda desain huruf. Semua kaos yang dikenakan jika dibaca “KEEP ON FIGHTING FOR DEMOCRACY” Ya media sangat tertarik menulis berita 26 aktivis dengan pesan yang sangat jelas.

Pada tahun 1995 para aktivis yang diadili karena kasus penghinaan presiden maupun subversif, umumnya manfaatkan tetap melawan di pengadilan melalui kaos. Jika para kriminal dan koruptor biasanya mendadak berjilbab atau bergamis, untuk menunjukkan keshalehan atau bertobat. Para aktivis tidak. Mereka tetap memakai kaos dengan berbagai pesan politik. Seorang aktivis dari Yogyakarta yang mempunyai usaha sablon kaos bahkan sengaja menyediakan beberapa buah kaos untuk para aktivis yang sedang diadili untuk dipakai saat di pengadilan. Sebagian orang menyebut kaos dengan pesan tegas disebut T-Shout.

Sekali lagi jangan menganggap enteng kaos. Sebab kaos itu seperti humor atau puisi. Humor dan puisi memang tak bisa meruntuhkan sebuah rezim. Namun humor dan puisi bisa membantu elan perlawanan kepada rezim atau sebaliknya mempercepat pembusukan. Begitu juga kaos. Karena itu tak salah ada sebuah kaos yang dibuat sekitar 1998an bertuliskan: Partai Kaos Indonesia (PaKaI) “Berkaos Kita Teguh Bercerai Kita Chaos”.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait