Emas di Tumpang Pitu Bukan Jaminan Kemakmuran
Kepungan perbukitan hijau dan suasana keharmonisan desa itu, tiba-tiba sirna. Begitu membaur dengan warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupate. Banyuwangi, Jawa Timur. Ditambah mendengar suara warga yang mengandung keresahan. Tak ada lagi ucapan bersahabat. Letupan-letupan kebencian cukup terasa.
Desa yang membawahi Dusun Pancer, Silirbaru, Rejoagung, dan Sungailembu itu, warganya memang sedang dirundung kegelisahan. Sudah beranjak enam tahun lebih, hal itu dialami mereka. Karena mereka tahu jelas ancaman itu bakal terjadi. Kegiatan ekplorasi emas di Tumpang Pitu, bagi mereka bukan jaminan kemakmuran. Justru membawa beban panjang anak cucu mereka.
Masih diceritakan Ahmad, 55 tahun, yang tinggal di Dusun Pancer. Mirip ahli oceanologi, ia menyampaikan, bahwa sifat arus  laut dengan sungai itu berbeda. Kalau sungai satu muara, tetapi kalau laut muaranya berputar.  “Kalau tidak ke barat ya ke timur. Itu sudah hukum alam, “ kata Ahmad, Senin sore, 13 Maret 2017.
Cerita Ahmad memang patut menjadi acuan. Sebab tentang laut yang ia sampaikan adalah pengalaman langsung. Pengalaman yang  ia arungi sejak usia 10 tahun. Maka tak salah ia berpendapat, jika hutan Gunung Tumpang Pitu itu hilang, kerusakan kehidupan laut dan lingkungan sekitar bisa terbuka lebar.
Tinggal menghitung hitungan waktu saja, kata Ahmad dengan kalimat tegas. Jika Gunung Tumpang Pitu sudah tidak ada, ke arah barat akan mengancam kehidupan di Banyuwangi, Jember, dan Malang.
“Itu hitungannya tidak sampai satu hari. Begitu juga ke timur, yaitu Bali. Bahkan hitungan ke tempat itu (Bali) tidak ada jam, menit atau detik saja,” jelas Ahmad meyakinkan pengalamannya soal putaran air laut.
Ia pun mengulang pernyataannya, bahwa akan terus melakukan penolakan kegiatan penambangan emas di Tumpang Pitu itu. PT Bumi Suksesindo yang sekarang melakukan kegiatan penambangan, pinta Ahmad, harus menghentikan kegiatannya. Ia lalu menandaskan, penolakan yang dilakukan warga Desa Sumberagung, tidak bisa disamakan dengan warga di Mimika, Provinsi Papua yang berhadapan dengan PT Freeport Indonesia.
“Penolakan kami juga tidak bisa disamakan dengan warga Sumbawa yang sedang bermasalah dengan perushaan tambang emas, PT Newmon. Karena hampir 70 persen, warga di sini hidupnya menggantungkan laut,“ terang Ahmad.
Protes warga Desa Sumberagung  yang masih berlangsung hingga kini. Rata-rata menyebut kehidupan mereka mulai terancam. Cerita Siti, sungai yang dulu mengalir jernih dan saat musim kemarau tiba, debit air tak pernah berkurang. Sekarang mengalami kondisi lingkungan mulai ada tanda-tanda kerusakan.
“Sungai belakang rumah ini mas. Kalau tidak ada hujan mulai mengering,“ kata Siti, menunjuk sungai di belakang rumahnya yang berjarak lima meter.
Puncak protes warga sendiri pernah terjadi pada November 2015. Dalam catatan Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sebanyak empat orang luka akibat tembakan Brimob.
Kerusuhan terjadi dipicu oleh ucapan Kepala Kepolisian Resor Banyuwangi AKBP Bastomi Purnama. Saat itu bertindak sebagai mediator, antara Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, pihak PT Bumi Suksesindo dan  warga, di Hotel Baru Indah, Jajag, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi.
Kapolres menyebut warga Pesanggaran tidak punya sopan santun. Akibatnya, menyulut lebih dari 500 orang warga, mendatangi lokasi penambangan dan terjadi kerusuhan.
“Kita tidak bisa membayangkan setelah peristiwa itu. Hampir semua laki-laki tidak ada di rumah. Banyak yang menjadi daftar pencarian orang,“ ucap Siti, warga Dusun Silirbaru.
Agus Santoso, 33 tahun, membenarkan cerita istrinya itu. Ia sendiri mengaku, salah satu daftar pencarian orang, paska peristiwa penyerangan lokasi tambang. Agus selama dua bulan penuh harus pindah tempat untuk bersembunyi. “Kadang di Bali, kadang di Surabaya mas. Sampek habis mas duit,“ kata Agus yang menunjukkan raut senyum menghindari kecemasan.
Meski begitu ia tak jera. Tetap terus melakukan penolakan. Hanya saja kali ini yang ia lakukan bersama warga, tidak melembaga. Agus lebih nyaman melakukan gerakan penolakan dengan menyebut diri warga Desa Sumberagung. Tidak seperti dulu warga menyebut Geramang, kepanjangan dari Gerakan Masyarakat Anti Tambang.
Adanya Geramang justru mempermudah aparat kepolisian membuat alasan menangkap warga. Geramang juga disebut sebagai organisasi terlarang. “Itu sebagai pengalaman kami di sini, “ ucap Agus.