Rabu, 27 September 23

Berburu Emas di Tumpang Pitu (Bagian 1)

Tumpang Pitu Adalah Pagar Alam

Tumpang Pitu, adalah wilayah perbukitan hijau, mengepung Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Di balik bukit terhampar hutan menghijau. Sawah para petani pun tampak menghijau menyambut masa panen padi. Menyusuri kecamatan yang membawahi lima pemerintahan desa, yaitu Desa Serongan, Desa Kandangan, Desa Sumberagung, Desa Pesanggaran, dan Desa Sumbermulyo, terlihat gemah ripah loh jinawi dengan berbagai sumber daya alam yang ada.

Kecamatan yang mempunyai luas 430.68 kilometer persegi ini, berjarak 60 kilometer ke arah selatan dari ibu kota Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Banyuwangi sendiri memang dikenal kabupaten paling luas di Provinsi Jawa Timur, sekaligus menjadi terluas di Pulau Jawa. Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 mencatat, Kabupaten Banyuwangi mempunyai luas 5.782,50 kilometer persegi.

Seorang warga Ridwan, 65 tahun, mengaku sangat bangga tinggal di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Tinggal di kabupaten ini cukup makmur, tak kesulitan mencari kebutuhan hidup. Ia sendiri mengaku selain sebagai nelayan juga bertani.

“Ingin bekerja apa saja kebutuhan kita bisa terpenuhi. Sebagai nelayan, petani, mengembangkan wisata juga bisa. Tinggal memilih mana yang kita sukai,” kata Ridwan, saat ditemui di Pantai Pancer, Senin, 13 Maret 2017

raw-13

Ridwan yang tinggal di Dusun Pancer, Desa Sumberagung ini, terlihat tak hentinya berucap sukur kepada sang pencipta alam ketika ditanya. Sebab ia menganggumi kekayaan alam di tanah kelahirannya itu. Hanya saja ia dan warga lain saat ini sedang merundung kegelisahan. “Tambang emas,“ lanjut Ridwan pendek

Ia pun menunjuk arah hutan Gunung Tumpang Pitu yang berada diseberang Pantai Pancer. Kurang lebih berjarak lima kilometer ke arah timur dari tempat ia tinggal. Tampak memang, ada beberapa bagian hutan gunung itu sudah berwarna putih kecoklatan, tidak  lagi perbukitan hijau. Itu menunjukan kegiatan penggundulan hutan untuk eksplorasi emas sudah dilakukan.

“Itu gunungnya yang sudah mulai ada kegiatan penambangan,“ ucap Ridwan.

Hutan Gunung Tumpang Pitu di masa kini bukan lagi pagar alam bagi warga sekitar, seperti disebutkan Ridwan. Sebab pemerintah sudah menyerahkan hutan gunung tersebut ke perusahaan pertambangan. Melalui berbagai rangkaian surat keputusan Bupati Banyuwangi. Sejak tahun 1990an, dari rezim ke rezim kepemimpinan Banyuwangi. Hutan Gunung Tumpang Pitu itu pun statusnya berubah. Dulu dikenal sebagai hutan lindung sekarang beralih menjadi hutan produktif.

Penolakan warga terhadap adanya penambangan emas, bukan tanpa sejarah. Mereka mempunyai masa kelam, trauma dengan peristiwa tsunami pada 3 Juni 1994 silam. Ridwan ingat betul peristiwa itu. Ia bersama nelayan lain, dini hari saat itu menuju pulang dari mencari ikan. Melihat dari bibir pantai, rumah mereka sudah luluh lantak, rata dengan tanah.

raw-12

Ridwan masih mengingat saat mencari keluarganya, histeria di antara puing-puing reruntuhan. Akibat gempa yang berkekuatan 7 skala Ricter itu, ia harus kehilangan dua anak dan istrinya. Traumatik Ridwan pun hingga kini masih ia rasakan. Itu ditunjukkan dengan sikapnya, mendadak menolak ketika diminta untuk bercerita dan menyebutkan, nama dua anak dan istrinya yan hilang ditelan tsunami itu.

“Sudalah mas. Saya menyebut nama istri dan anak saya, cukup dalam doa saja. Biarkan mereka tenang di alam sana, “ ucap Ridwan bernada lirih sambil berpamit pergi untuk menghindari wawancara.

Sebaliknya, ungkapan tegas ia tunjukan, saat menyatakan akan terus melawan kegiatan penambangan emas. Bersama beberapa warga yang tinggal di sekitar Gunung Tumpang Pitu. Ia mengklaim sudah melakukan koordinasi, melalui Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir (LPMP) yang dibentuknya 2016.

“Intinya dari perjuangan kami, mendesak terus agar kegiatan penambangan dihentikan, “ ujar Ahmad.

Untuk berkoordinasi hingga saat ini. warga saling bahu-membahu membangun komunikasi. Terutama kaum nelayan itu mengancam akan mengepung perusahan pertambangan PT BSI. Ahmad tidak mau menyebut, kapan langkah pengepungan itu akan dilakukan.  Padahal operasi penambangan di hutan Gunung Tumpang Pitu itu,  sudah berlangsug dengan ditandai seremonial peledakan pada 27 April 2016 lalu.

Sebagaimana terjadi, warga sendiri melakukan gerakan penolakan penambangan emas Tumpang Pitu sejak 2006. Sejak mereka merasakan kehidupan kampung, mengalami perubahan mencolok. Kerap terjadi ketidaknyamanan dan gangguan keharmonisan antar tetangga.

Penolakan itu mereka lakukan, baik berbentuk aksi demo ke instansi pemerintahan maupun lewat surat yang mereka buat. Namun upaya itu tak pernah mendapat perhatian dari pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, maupun pusat yang berada di Jakarta.

Siti Diah, 31 tahun, warga Dusun Silirbaru, Desa Sumberagung menceritakan, kampungnya mulai ramai penambangan emas, saat itu warga banyak tidak fokus lagi sebagai petani dan nelayan. Kecenderungan malas selalu ia dapati, karena impian untuk mendapat emas dari Gunung Tumpang Pitu. Pekerjaan utama kerap terabaikan, memilih mencari emas sebagai penambang tradisional. Padahal, kata Siti, belum pernah menjumpai warga yang mendapatkan segumpal emas dari gunung Tumpang Pitu.

“Kalau memang gunung itu benar ada emasnya. Itu tidak pernah saya jumpai ada warga memperoleh emas. Ada emas kecil-kecil. Itu pun tak mudah didapati dan belum tentu emas, “ kata Siti yang menunjukkan ekspresi menjentik tanda tak percaya.

Siti juga mengaku, sejak dulu dirinya dan keluarga tak pernah tergiur emas Tumpang Pitu. Ia memilih bertani menanam jeruk. “Kita ini dilahirkan dari seorang petani, ya bertani mas,“ kata Siti di rumahnya Senin itu.

Maka tak salah. Sikap getol itu masih ia tunjukkan. Terlibat solidaritas dengan warga lain. Hanya saja Siti dan warga kali ini memilih melakukan penolakan cukup di kampung saja. Mereka tak ingin penolakan berbentuk demo itu, dilakukan di depan instansi pemerintah. Karena ia menganggap tak ada gunanya.

“Tak ada gunanya, kita berangkat ke kabupaten mau pun provinsi. Ke sana toh, kita tak pernah diperhatikan,“ ucap Siti yang didampingi suaminya, Agus Santoso 33 tahun.

 

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait