BOGOR – Budaya daftar ulang yang jadi tradisi tahunan di banyak sekolah sulit diberantas. Meski hal itu jelas melanggar kepatutan, namun ironisnya pihak sekolah mau pun seolah melembagakan. Padahal, kebijakan daftar ulang yang dibuat sekolah disertai dengan kewajiban wali murid membayar uang dengan nilai tertentu tersebut jelas sangat memberatkan. Apalagi, ketentuan daftar ulang tersebut waktunya mendekati Lebaran.
“Saya mendapat banyak laporan keluhan orangtua siswa soal daftar ulang. Tidak hanya di sekolah swasta, di sekolah negeri pun ada pungutan dengan penghalusan nama, intinya sama, daftar ulang dan harus membayar,” tukas Anggota Komisi D, DPRD Kota Bogor, Najamudin saat diwawancarai indeksberita.com di DPRD Kota Bogor, Senin (27/6/2016).
Dia menyesalkan sejauh ini Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bogor tidak bersikap terkait maraknya daftar ulang dengan pungutan yang dilakukan banyak sekolah.
“Semestinya, Disdik memberi teguran dan melarang agar pihak sekolah tidak melakukan pemungutan biaya pendaftaran bagi siswa. Tapi, yang terjadi saat ini, banyak sekolah yang melanggar. Sekolah tetap saja memungut uang pendaftaran bagi siswa yang hendak masuk maupun siswa kelas satu yang naik ke kelas dua dan tiga,” kesalnya.
Secara tegas, legislator Kota Bogor ini menyampaikan, apapun alasannya dari pihak sekolah, pungutan dengan dalih daftar ulang sangat membebani.
“Saat ini, masyarakat sedang disibukan dengan persiapan Lebaran. Setelah itu, persiapan masuk sekolah dengan membeli kelengkapan sekolah seperti buku dan sebagainya. Nah, dengan adanya pungutan daftar ulang jelang Lebaran ini, jelas tidak sedikit orangtua siswa yang berkeluh kesah. Apalagi, bila siswa tersebut dari latarbelakang tidak mampu,” ucapnya.
Daftar ulang ini, menurutnya, hanya sebutan atau kedok sekolah untuk memungut uang dari wali murid.
“Logikanya, jika ada siswa sudah kelas 1 kemudian naik ke kelas 2, dan seterusnya, sudah pasti niatnya akan melanjutkan sekolah di tempat yang sama. Jadi, apa perlunya kebijakan daftar ulang? Jika ada orangtua siswa yang ingin pindah sekolah, secara etika sudah pasti dia akan mengajukan pengunduran diri ke sekolah. Jadi, menurut saya, tidak ada nilai manfaatnya sebutan daftar ulang tersebut,” tandasnya.
Terpisah, Kordinator Wilayah SOS Children’s Villages , Robet Makapuan juga berkomentar soal kebijakan daftar ulang yang banyak diberlakukan di sekolah.
“Daftar ulang itu tidak sesuai dengan semangat Gerakan Revolusi Mental yang dicanangkan pemerintah. Istilah daftar ulang ini sudah ada sejak era Orde Baru (Orba). Jadi patut disebut daftar ulang ini produk warisan Orba yang membawa semangat lakukan pungutan liar di sekolah yang membebani orangtua siswa. Yang kasihan kan siswa yang tidak mampu, apalagi akan menghadapi Lebaran saat ini. Jadi, menurut saya dewan maupun Disdik Kota Kota Bogor harus turun tangan memberi tindakan,” tandas aktivis 98 yang kini bergiat dalam lembaga pendampingan anak-anak terlantar.
Sebagai informasi, pantauan media online ini, tidak sedikit sekolah di Kota Bogor mulai tingkat SMP hingga SMA dan yang setara memberlakukan aturan daftar ulang di sekolahnya dengan batasan waktu selambat-lambatnya 29 Juni 2016. Nilai yang ditentukan sebagai wajib bayar pun bervariasi ditentukan sekolah terkait.
“Buat saya yang hanya bekerja sebagai pegawai di salah satu rumah makan jelas sangat memberatkan. Anak saya di SMK Tridarma yang duduk di kelas 2 dikenakan wajib daftar ulang dan harus bayar Rp400 ribu. Ini kan merepotkan, mana mau Lebaran. Malah ada teman anak saya di SMK negeri kabarnya juga ada kewajiban daftar ulang juga dan harus bayar Rp350 ribu,” keluh Iis Aisyah, warga Gang Karet, Jalan Ahmad Yani, Tanahsareal, Kota Bogor. (eko)