Kerja sama ekonomi dan perdagangan antara negara, baik secara bilateral, regional maupun global, semakin intensif dilakukan. Kerjasama ini dalam bentuk penurunan, atau menghapus sama sekali hambatan-hambatan perdagangan, baik tarif maupun non tarif. Tujuannya, agar tercipta pertumbuhan ekonomi yang lebih agresif dan progresif melalui ekonomi yang lebih terbuka diantara negara-negara yang telah menyepakatinya.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA/AEC), maupun masyarakat ekonomi ASEAN dan Cina (ACFTA), adalah contoh kerjasama regional yang telah kita sepakati. Maka kita tak bisa mengelak lagi masuk dalam arena peraaingan bebas dan terbuka dengan negara-negara yang menjadi anggota ASEAN plus Cina. Tinggal bagaimana kita memperkuat dan meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki.
Di bidang Farmasi, industri ini pasarnya sangat besar. Besaran pasar farmasi di tahun ini diperkirakan akan mencapai Rp.69 triliun. Besarnya pasar tersebut, merupakan 27% dari pasar farmasi ASEAN. Sayangnya pasar sebesar itu tidak didukung oleh industri bahan baku obat. Sampai saat ini kita masih mengimpor 90% dari bahan baku obat yang kita butuhkan. Menurut ketua Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI), Dorojatun Sanusi, memenuhi bahan baku obat akan menjadi tantangan sekaligus peluang untuk membangun industri tersebut di Indonesia.
“Semakin besar pertumbuhan pasar farmasi, maka semakin besar pula kebutuhan kita untuk mengimpor bahan baku. Ini masalah tapi juga peluang. Perlu ada perencanaan jangka panjang dari pemerintah untuk membangun kemandirian industri farmasi, yang mampu menyediakan bahan baku obat secara mandiri” ujar Dorojatun kepada indeksberita.com.
Membangun industri bahan baku farmasi sangat penting, tetapi ada hal lain yang kita lupakan, industri obat herbal. Menurut Dr.Keri Lestari,M.Si.,Apt.,fakultas Farmasi Universitas Padjajaran dalam sebuah seminar, menyatakan bahwa kita memiliki keunggulan alami, dimana kita memiliki 30 ribu dari 40 ribu spesies tanaman di seluruh dunia. Dari 30 ribu spesies tersebut, 9.600 diantaranya memiliki khasiat sebagai obat. Dari data tersebut jelas, bahwa untuk industri obat herbal, kita bukan hanya bisa mandiri sepenuhnya, tetapi juga bisa menjadi pemain global.
Peluang tersebut sudah diisi, dan secara nasional cukup besar. Menurut data Kementrian Perindustrian, besarnya pasar jamu dan obat tradisional dan herbal sekitar Rp. 17 triliun, dan kedepannya akan terus tumbuh. Jika pasar farmasi yang besarnya Rp.69 triliun tadi, 5% saja bisa disubstitusi oleh obat herbal, maka pasar obat herbal dan tradisional, akan tumbuh lebih dari 20%. Jadi kedepan peluang obat herbal dan tradisional akan semakin besar dan menarik, dan impor bahan baku farmasi juga bisa berkurang.
Peluang ini, juga dilihat oleh industri obat Farmasi BUMN, Indofarma. Memang Indofarma sudah bermain di pasar ini. Prolipid, Pro Uric, Bio Vision, adalah beberapa contoh produk yang diproduksinya. Menurut Yasser Arafat, corporate secretary Indofarma, saat ini porsi obat herbal itu masih sangat kecil. Dan masih menurut Yasser, Indofarma saat ini sedang berekspansi membangun fasilitas pabrik khusus untuk bahan baku obat herbal.
“Kami sedang membangun fasilitas pabrik khusus bahan baku herbal. Fasilitas pabrik sedang dibangun, serifikat CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik) juga dalam proses. September tahun depan, kami berharap sudah siap produksi” kata Yasser kepada indeksberita.com kamis lalu (1/12/2016).
Dan yang lebih penting lagi, dari data Kemenperin, industri obat tradisional dan obat herbal, sebagian besar pemainnya adalah usaha kecil dan menengah (UKM), yang dibuat dengan sederhana dan modal yang tidak besar. Maka dengan membangun industri bahan baku obat herbal, akan mendorong kemajuan UKM pula.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.