Saya akan mulai tulisan ini dengan sebuah lagu dari Adele, yang mirip lagu lama dari Leonel Richie: Hello? Is it beer you’re looking for? Ternyata bukan orang Jogja yang suka dan jago plesetan. Bahkan The Beatles sudah menyanyikan lagu “Let it beer, let it beer….”
Sungguh tuisan ini berangkat dari keprihatinan mendalam. Mengapa bangsa ini di satu sisi kian relijius, namun di sisi lain makin permisif terhadap tindak kejahatan korupsi. Masjid, gereja dan tempat ibadah lainnya banyak didirikan, namun penjara makin penuh koruptor. Melihat orang minum bir seperti melihat setan, sementara mengangap biasa saja orang yang bersikap rasis di negara penuh keragaman ini.
Ah kok jadi serius. Ayo mari minum bir eh bicara tentang bir. Jika ada pepatah bahasa menunjukkan bangsa, sesungguhnya bisa juga bir menunjukkan bangsa. Orang Thailand bangga denga Singha Beer, orang Indonesia suka Bir Bintang dan (satu lagi) bir yang menyeramkan: Anker! Filipino sangat suka bir San Miguel (awas jangan salah ucap ‘send me girl’). Orang Belanda suka Heineken Beer. Orang Australia suka minum VB (Victoria Beer). Adakah hubungan antara bir dan nasionalisme?
Simak cerita dari Dili, Timor Leste setelah negara itu baru merdeka. Saya dan beberapa aktivis Indonesia ngobrol di sebuah kafe di Pantai Kelapa. Di Dili ada banyak merek bir yang beredar termasuk Bir Bintang dan VB. Kami orang Indonesia pesan Bir Bintang. Seorang anak muda Timor Leste (bukan aktivis), tiba-tiba nyeletuk di meja sebelah, “Saya tak suka Bir Bintang, sebab kami sudah merdeka.” Saya tak ingin melayani “provokasi” anak muda itu. Saya Cuma mengatakan, “Pantesan sekarang anda suka VB, ‘penjajah’ baru.” Tentu saja saat itu belum ada Movimentu Kontra Okupasaun Tasi Timor (MKOTT).
Di Jerman setiap tahun ada acara OctoberFest. Acara yang paling ditunggu adalah minum bir berjamaah. Di seantero negeri di lapangan, di jalan, pokoknya di ruang terbuka warga minum bir. Bir tampaknya tak bisa dilepaskan dari budaya orang Jerman. Tiada hari tanpa minum bir. Bagi orang Jerman, minum bir mati, tak minum bir juga mati, mending minum bir! Orang Jerman percaya, “Beer doesn’t have many vitamins that’s why you need to drink lots of it”.
Pada 1 Juni 2008, FPI dan sebangsa(t)nya menyerang aktivis lintas agama di Monas, saat memperingati Hari Lahir Pancasila. Sebenarnya yang disasar adalah kelompok Ahmadiyah. Orang-orang bersorban putih dan berselempang pentungan itu mengancam, “Darah kalian halal kami minum.” Beberapa kawan saya yang jadi panitia kegiatan itu ketakutan. Saya santai saja menanggapi, malah saya minta tolong dicarikan nomor HP Munarman salah satu pentolan laskar FPI. Saya ingin sms Munarman, “Bro ane masih seperti dulu, suka wine dan bir. Jadi darah ane haram!”
Bir adalah minuman internasional. Tapi jangan salah, Anker Bir adalah bir nasional yang saham perusahaannya dimiliki Pemda DKI Jakarta. Rhoma Irama bahkan pernah menjadi bintang iklan produk bir tapi zero alkohol. Saya selalu ingat pesan Bang Haji: “Jangan suka minum bir. Itu minuman setan. Kalau kamu minum bir, lalu setan minum apa!?” Di kalangan warga Betawi juga dikenal bir pletok. Tapi minuman yang satu ini tak memabukkan.
Life is Brewtiful:
Hidup itu indah, salah satunya karena ada bir. Namun, air kata-kata ini, sekarang tak mudah di dapat. Tak semua minimarket menjual jenis minuman ini jika tak ada izin khusus. Mereka takut setiap saat ada razia, apalagi menjelang bulan puasa. Tapi coba cari miras di gudang markas ormas yang hobinya merazia, dijamin tersedia lengkap barang itu.
Banyak yang mengatakan bahwa orang yang mengkonsumsi bir adalah orang galau untuk menghalau masalah. Mungkin pernyataan ini benar. Menurut Earl Dibbles Jr, “I got 99 problems and beer solves all of ‘em.” Jangan juga percaya sepenuhnya pada bir (percayalah kepada Tuhan). Sebab, “Beer is not the answer, beer is the question. Yes is the answer.” Pendapat ini kurang lebih sama dengan statement di bawah ini,”There is no strong beer, only weak men.”
Menurut data di Kementerian Perdagangan, penjualan bir atau minuman beralkohol di bawah 5 persen di Indonesia berada di jalur positif. Penjualan bir di Indonesia naik lebih dari 50 persen selama satu dekade terakhir. Tapi memang tingkat konsumsinya masih kecil, dibandingkan populasi 250 jutaan. Survei dari Nielsen terbaru mendapati bahwa hanya 2,2 persen rakyat Indonesia di atas usia 20 tahun yang mengkonsumsi alkohol dalam kurun waktu 12 bulan terakhir.
Produsen bir lokal yang populer di Indonesia salah satunya adalah Bir Bintang yang diproduksi oleh PT Multi Bintang Indonesia Tbk, yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh Heineken. Produsen lain yang punya jejak panjang di Indonesia adalah Diageo dan Carlsberg.
Indonesia masuk ke dalam urutan ke-10 pengkonsumsi bir di Asia dan termasuk pula sebagai peminum bir hitam Guinness terbanyak di kawasan itu. Sanjeet Aujla, analis di Credit Suisse mengatakan pelarangan penjualan di minimarket dan seringnya razia miras oleh ormas, hanya akan berdampak kecil terhadap bisnis bir secara keseluruhan. Pasar bir domestik memang sedang bertumbuh 5-6 persen per tahun, menurut data International Wine and Spirit Records, lembaga riset yang berbasis di London.
Dari data di atas, saya ingin memberi ide kepada siapa saja. Sudah saatnya dideklarasikan partai baru, Partai Bir Indonesia (PBI). Saya sarankan logonya gambar botol dan gelas di dalam segi lima, di sekelingnya ada 5 bintang. Lagu partai bisa diambil dari lagu dangdut, biar merakyat, judulnya Mabok Lagi. Nah apa slogannya? Biar lebih keren, mengutip sastrawan terkenal dari Inggris William Shakeaspeare, “Two beer or not two beer!”
- Advertisement -