Ayat Perang dan Kerinduan Islam Politik

0
201

Saat perang situasinya memang Hitam-Putih. Orang yang tidak dikenal dan sok akrab, seperti waktu kami berperang melawan Soeharto di Pijar, bisa-bisa dituduh intel.

Lain pula konteksnya di masa damai. Semua pemeluk agama (dan keyakinan politik tentunya) dan ras-ras yang berbeda diperintahkan hidup berdampingan secara damai. Maka ada piagam Madina. Piagam yang hingga sekarang digunakan oleh komunitas muslim moderat untuk idealita masyarakat yang dicita-citakan, atau acap disebut masyarakat madani.

Maka kami pun di PIJAR dalam bersahabat tidak mempersoalkan anda berlatar-belakang KNPI, anda dulunya atau sekarang masih Golkar, atau organ pendukung Soeharto lainnya. Bahkan mantan Ketua Pijar Palembang menjadi anggota DPRD selama 2 periode dari fraksi Partai Golkar.

Cilakanya, situasi Perang itu dibuat memanjang dalam sitiap kompetisi demokrasi yang sesungguhnya diciptakan untuk mencegah Perang. Di sana ada rule of law yang mesti dipatuhi semua kompetitor dan pendukungnya. Bagi saya itu boleh-boleh saja asal konsisten. Konsistennya di mana?

Konsistensinya begini, ayat “perang” yang dipersoalkan itu mengatakan anda tidak boleh berteman dengan orang Kristen dan Yahudi. Berteman saja tidak boleh, apalagi dipimpin atau berbisnis dengan orang Kristen. Logikanya kan begitu?

Kalau konsisten dengan “ayat perang ini” mestinya semua muslim dan muslimah yang bekerja di Kementerian Hukum dan HAM mengajukan diri pensiun dini karena menterinya beragama Kristen.

Mestinya pula Sekda DKI Syaifullah atau Ibu Sylviana yang sempat menjadi Walikota dan Kepala Dinas di Pemprov DKI mundur dari jabatannya di Pemda DKI setelah Basuki Tjahaja Purnama diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta karena berdasarkan ayat tersebut tidak boleh dipimpin orang Kristen.

Tapi bersyukurlah, ibu Sylviana yang cantik dan baik hati tidak ikut-ikutan arus, dan mungkin kurang nyaman dengan situasi ini. Begitu pun dengan cawagub Sandiaga Uno. Karena isu ini memang diciptakan oleh orang-orang yang tidak konsisten dengan ladang pekerjaan dan situasi pergaulannya.

Saya tahu, sahabat saya Masinton Pasaribu begitu dilantik menjadi anggota DPR-RI merekrut staf-stafnya mayoritas beragama Islam, bahkan berlatar-belakang Santri. Mengapa mereka mau padahal ada Al-Maidah ayat 51, karena mereka tahu dalam konteks seperti apa ayat itu diturunkan.

Yang sulit dimengerti adalah ketika seseorang itu pimpinan di kantornya orang Kristen, rekan bisnisnya orang Kristen, tapi begitu Pilkada paling getol di baris depan mengusung ayat perang ini sebagai ketentuan yang berlaku kapan saja dan berlaku di mana saja. Kalau konsisten mestinya mereka berhenti dari pekerjaan atau membatalkan semua bisnis dengan orang Kristen. Tapi ini kan tidak?

Di luar itu semua, sulit dipungkiri, sebenarnya ada kerinduan hadirnya seorang pimpinan Muslim di negeri yang memang 84,97 % beragama Islam. Tapi sayangnya cara berpikir untuk menghadirkan itu yang kurang tepat di tengah lingkup pergaulan kosmopolitan yang memiliki logikanya sendiri dalam memaknai nilai-nilai dan realitas.

Kenyataan ini mengingatkan saya pada sebuah film China, seseorang dari Dinasti Ming yang terkubur dalam salju dan masih hidup hingga usia 300-an tahun. Begitu siuman dia ingin menegakkan loyalitas kepada rajanya yang sudah pasti tidak ada. Cara berfikir dan bertindak dia masih sama seperti 300 tahun silam.

Kisah itu menegaskan adagium satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Jadi siapapun yang bisa menjawab perubahan jaman niscaya dia akan memimpin. Sebelum Perang Dunia II Inggris begitu perkasa. Tapi setelah Perang Dunia II superioritas Inggris direbut Amerika Serikat (Blok Liberal) dan Uni Soviet (Blok Sosialis).

Begitu pun dengan Tiongkok, setelah proyek Sosialisme di segala bidang gagal memberikan penghidupan bagi 1 miliar penduduknya, dia pun banting stir menjadi pelayan Kapitalisme yang andal. Sistem politik yang otoriter tetap dipertahankan untuk menjaga stabilitas, dan stabilitas itu sendiri ternyata ampuh bagi pertumbuhan.

Terus kenapa Indonesia sebagai negara yang 84,97 % penduduknya beragama Islam belum mampu menjawab kerinduan sebagian umatnya tentang hadirnya pemimpin muslim? Karena tidak tanggap dengan perubahan maka komunitas “Islam Politik” terus mengecil. Lainnya, meskipun beragama Islam namun dalam kesehariannya lebih bergumul dengan “kenyataan hidup” yang tidak didapatinya dari tokoh-tokoh Islam Politik.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai yang dilahirkan komunitas politik Islam yang acap kali dicurigai sebagai Wahabi, sebenarnya telah melakukan regenerasi kepemimpinan dengan merekrut kader-kader muda.

Tapi sayang, kader muda yang direkrut belum begitu tanggap dengan perubahan. Mereka kurang bergaul dengan anak-anak muda pada umumnya, termasuk anak muda muslim moderat, sehingga kurang dianggap sebagai artikulator kepentingan mereka.

Namun tampaknya kelemahan itu sudah dibaca oleh pengurus PKS sekarang. Mereka kini dalam acara-acara kaderisasi mulai menghadirkan narasumber dari lingkungan yang tidak sejenis dengan mereka. Dengan begitu, ke depannya, generasi muda PKS seiring dengan makin tergerusnya elektabilitas dapat lebih mengagregrasi kepentingan yang lebih beragam.

Padahal, secara nilai, kepemimpinan Islam itu luar biasa. Syarat-syaratnya, selain cerdas, kompeten juga harus amanah (jujur). Tapi kenapa hal yang demikian itu belum muncul?

Dalam pandangan saya karena itu masih tertutup oleh jargon dan simbol-simbol, sehingga yang paling pintar melahirkan jargon dan pandai menggunakan simbol-simbol Islam itulah yang akhirnya diangkat menjadi pemimpin. Bukan yang shidiq, amanah, dan fathonah yang akhirnya pun hanya terhenti sekedar menjadi jargon.

Bagi saya kerinduan komunitas muslim terhadap pemimpin Islam sah-sah saja. Tapi tentu saja tidak bisa diproses melalui cara-cara menyodorkan ayat-ayat perang secara tidak konsiten dan mudah dibaca publik sebagai manipulasi kekuasaaan. Melainkan dengan tanggap perubahan tanpa harus berkhianat dengan nilai-nilai dasar Islam.

Kok saya tahu nilai-nilai dasar Islam? La iayalah, sebelum di Pijar saya sempat hinggap di HMI. Dan terus terang, saya pun merindukan pemimpin Islam seperti senior saya (Alm) Nurcholis Madjid, atau setidaknya (Alm) Eki Syachruddin. Dan saya pengagum Gus Dur yang bagi saya cerdas dan dapat dipercaya.

Haruskah kerinduan saya semakin panjang, karena pemimpin Islam yang tampil dicitrakan salah kostum dalam menanggapi perubahan jaman?

Marlin Dinamikanto, Penyair Fesbuker