Dua serangan baru pada masjid-masjid di Myanmar telah kembali menimbulkan pertanyaan tentang komitmen pemerintah Myanmar untuk mengatasi meningkatnya sentimen anti-Muslim dan dukungan kebencian itu. Demikian pernyataan Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) hari ini, Senin (4/7/2016).
APHR meminta pihak berwenang di Myanmar untuk melakukan investigasi menyeluruh atas kedua insiden dan membawa para pelakunya ke peradilan.
“Pemerintah Myanmar harus menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa kekerasan anti-Muslim tidak akan ditoleransi. Pihak berwenang memiliki tanggung jawab untuk sepenuhnya menyelidiki serangan ini dan mengadili mereka yang terlibat. Tindakan apapun yang kurang dari itu akan mewakili kegagalan untuk melindungi komunitas minoritas yang rentan, “kata Ketua APHR Charles Santiago, yang tercatat sebagai anggota Parlemen Malaysia.
Seperti diketahui, pada Jumat (1/7), massa lebih dari 100 individu dengan tongkat, pisau, dan senjata lainnya menyerang dan membakar tempat ibadah kelompok Muslim hingga rata di sebuah desa di kota Hpakant, Negara Bagian Kachin. Banyak warga Muslim melarikan diri dari desa setelah serangan tersebut, karena takut akan keselamatan mereka. Tidak ada penangkapan yang dilakukan sehubungan dengan insiden tersebut.
Serangan itu menyusul insiden serupa, yang berlangsung pada tanggal 23 Juni di Waw Township, negara bagian Bago. Ada massa menggeledah sebuah masjid dan pemakaman Muslim, sehinga memaksa warga Muslim lokal untuk berlindung di sebuah desa di dekatnya. Kurang dari seminggu kemudian, Ketua Menteri Bago U Win Thein mengumumkan bahwa pihak berwenang setempat berencana untuk tidak melakukan tindakan dalam menanggapi kekerasan.
“Kurangnya tindakan oleh otoritas sejauh ini sangat memprihatinkan. Kegagalan untuk sungguh-sungguh menyelidiki insiden tersebut di Bago merusak komitmen pemerintah yang seharusnya menjalankan aturan hukum dan bukan justru memperpanjang siklus kekebalan hukum yang memprihatinkan, hal ini mengancam keberhasilan transisi Myanmar yang berkelanjutan, “kata Santiago.
APHR berpendapat bahwa respon pemerintah untuk serangan terbaru juga harus merupakan panggilan perhatian kepada masyarakat internasional.
“Pemerintah, dipimpin oleh Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, telah mengatakan kepada masyarakat internasional untuk ‘hanya mempercayai kami’ dalam menangani situasi di negara bagian Rakhine untuk mengatasi diskriminasi terhadap Rohingya dan masyarakat Muslim lainnya. Peristiwa seperti ini membuktikan bahwa mereka harus melakukan lebih banyak untuk mendapatkan kepercayaan itu, ” tambah Santiago.
Rohingya Muslim di negara bagian Rakhine selama ini menghadapi penganiayaan sistematis di tangan pemerintah dan telah menjadi target utama retorika penuh kebencian dari kelompok nasionalis Buddha, serta beberapa pejabat pemerintah.
Karena itu, APHR mendesak pemerintah Myanmar untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk memerangi kebencian dan hasutan untuk melakukan kekerasan. meningkatknya sentimen anti-Muslim yang memprihatinkan, yang didukung oleh wacana nasionalis religius, hal mana telah memberikan kontribusi menumbuhkan iklim di mana serangan seperti ini telah menjadi semakin umum.
“Serangan-serangan ini menunjukkan perlunya pemerintah Myanmar untuk bekerja lebih keras untuk mengatasi sentimen anti-Muslim, yang meningkat pesat di seluruh negeri,” kata Wakil Ketua APHR Eva Kusuma Sundari, anggota DPR Republik Indonesia.
“Tindakan kekerasan baru-baru ini bukanlah merupakan insiden yang terisolasi. Ini merupakan kegiatan-kegiatan terbaru dalam serangkaian perkembangan yang memprihatinkan yang makin terangkat dari pidato kebencian dari kelompok-kelompok seperti Ma Ba Tha,” tambah Eva Sundari seraya mengacu pada Asosiasi yang dipimpin biksu Buddha untuk Perlindungan Ras dan Agama.
“Ini adalah tanggung jawab pemerintah Myanmar, termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, untuk melindungi semua warga negara. Itu berarti secara tegas harus mengutuk pidato kebencian dan kekerasan bermotif agama dan menekankan bahwa ekstremisme dan pengucilan tidak memiliki tempat dalam masyarakat demokratis sukses yang Myanmar harapkan dapat terjadi,” tegas Eva.
Eva Sundari menyesalkan organisasi ASEAN yang masih didominasi para pemimpin negara sehingga rakyat ASEAN menjadi kelu dan kurang responsif terhadap kasus2 pelanggaran HAM di kawasan ini.
ASEAN kurang responsif terhadap permasalahan rakyat dan kemanusiaan, karena terlalu fokus di masalah ekonomi sekaligus beroperasi dalam kendali kepala-kepalanegara,” pungkas Eva.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.