Rabu, 29 Maret 23

Argumentasi Historis Testimoni Freddy Budiman

Testimoni gembong narkoba Freddy Budiman (FB) pada Haris Azhar (Koordinator KontraS), sudah tersebar di masyarakat, dan telah menjadi perbincangan ramai. Sebagaimana kita ketahui, cerita ini bermula ketika Haris Azhar pada suatu waktu pada pertengahan 2014 bertemu dengan FB. Kemudian oleh Haris Azhar (Haris), testimoni FB itu disebarkan melalui media sosial. Dan isu ini masih bergulir sampai sekarang.

Apa isi testimosi FB, tentu kita semua sudah mahfum, mengingat testimoni FB sudah diberitakan dan dikembangkan secara masif oleh media cetak, elektronik, online, dan media sosial. Secara singkat bisa dijelaskan di sini, menurut FB, bisnis narkoba bisa terus berjalan dan menggurita, karena adanya keterlibatan oknum dari lembaga negara, seperti BNN, Pori, dan TNI, lembaga yang seharusnya menangkal peredaran narkoba. Kemudian soal jumlah uang yang berputar di bisnis ini, luar biasa fantastis. Satu contoh saja, satu butir “inex” yang harga aslinya dari produsen di Cina adalah 5000 rupiah, ketika sampai di tangan konsumen di Jakarta atau kota lain, bisa mencapai kisaran 200.000 – 300.000 rupiah.

Momentum Historis

Satu wacana yang menonjol adalah berupa pertanyaan: mengapa kasus ini baru disampaikan sekarang? Mengapa tidak sejak dulu, mengingat pertemuan antara FB dan Haris terjadi pada tahun 2014. Haris sebenarnya sudah memberikan alasan soal timing itu, salah satunya adalah mempertimbangkan situasi politik saat itu yang tidak memungkinkan, mengingat sedang terjadi transisi pemerintahan dari Rezim SBY ke rezim penggantinya.

Rupanya jawaban itu belum dianggap cukup. Puncaknya ketika Presiden Jokowi mengajukan pertanyaan yang sama. Sebagai sahabat Haris Azhar, yang kebetulan pernah belajar sejarah secara formal, saya ingin membantu mendudukan persoalan dari perspektif ilmu sejarah. Bila tulisan ini kemudian dianggap sebagai pembelaan terhadap Haris, ya silahkan saja. Saya sendiri berusaha menulis seobyektif mungkin dan proporsional.

Dalam peristiwa sejarah dikenal istilah (bahasa Belanda) eenmalig, yang arti harfiahnya sekali saja. Maksudnya kira-kira begini, bahwa semua peristiwa sejarah (utamanya skala besar) merupakan eenmalig, dia hanya terjadi sekali saja. Benar, yang namanya momentum sejarah hanya terjadi sekali, dan tak akan berulang kembali. Konsep ini bisa diadu dengan asumsi lain, yang berbunyi: sejarah selalu berulang. Dua-duanya memiliki kebenaran, namun tidak mutlak. Bahwa sejarah memang bisa berulang, namun tidak mungkin persis sama.

Saya kira tindakan Haris menyampaikan testimoni FB adalah momentum sejarah, sebuah tindakan yang hanya terjadi sekali. Kita boleh cek, suatu hari kelak tentu akan muncul berita besar yang disebar melalui media sosial, namun tentu dengan isi dan maksud yang berbeda, tidak bisa sama persis, dengan apa yang sudah disampaikan Haris. Ketika merilis beritanya di media sosial, apakah Haris dengan sadar memang berniat akan menciptakan momentum sejarah? Hanya Haris yang tahu. Namun yang jelas, tindakannya kini telah menjadi momentum sejarah.

Sudah tidak terhitung peristiwa sejarah di negeri ini yang berasal dari inisiatif perseorangan, bukan dari sebuah kelompok dan lembaga yang mapan. Sekedar contoh saya menyampaikan dua peristiwa, inisiatif perseorangan, yang kemudian berpengaruh terhadap jalannya sejarah. Pertama adalah aksi Suara Ibu Peduli yang digagas Ibu Karlina Supeli dkk, pada awal tahun 1998. Aksi Ibu Karlina dkk di Bundaran HI (Jakarta Pusat), yang memprotes kelangkaan susu di masyarakat, memicu aksi lanjutan oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang berpuncak pada Peristiwa Mei 1998, hingga berujung dengan jatuhnya Soeharto.

Peristiwa kedua, adalah tekad Panglima Besar Soedirman untuk terus melakukan perang gerilya dalam Agresi Militer Belanda II (Desember 1948), dan menolak tawaran Presiden Soekarno untuk tetap istirahat di Yogya, mengingat kesehatannya kurang memungkinkan. Bila Soedirman menerima tawaran Soekarno, tentu jalan sejarah akan lain. Salah satu kemungkinan adalah, Soedirman beresiko ikut ditawan tentara Belanda, sebagaimana dialami Soekarno dan Hatta.

Kebenaran dan Kadaluwarsa

Satu lagi “hukum” dalam ilmu sejarah adalah, tidak dikenal pengandaian dalam sejarah. Seperti kalimat terakhir di atas terkait sikap Soedirman: Bila Soedirman….. dan seterusnya. Artinya kosa kata (bila) tidak dikenal dalam sejarah, karena memang tidak pernah terjadi.
Kembali pada tindakan Haris di atas, “hukum” tidak mengenal pengandaian dalam sejarah juga berlaku. Bila kita turuti kehendak Presiden dan pejabat lembaga negara lain, yang menyesalkan mengapa cerita itu tidak disampaikan sejak dulu, kita tidak akan tahu juga apa yang akan terjadi. Tidak ada jaminan, respon (dari lembaga negara) akan lebih baik dari apa yang kita saksikan hari ini. Sementara yang kita saksikan hari ini, saya kira positif, bahwa tiga lembaga negara (Polri, BNN dan TNI) telah membentuk tim investigasi. Setelah sebelumnya sempat akan melaporkan Haris, atas dugaan pencemaran nama baik. Artinya ada degradasi sikap keras dari institusi yang disebut-sebut oleh FB.

Tulisan ini akan saya tutup dengan keniscayaan, bahwa tidak ada istilah kadaluwarsa untuk sebuah kebenaran. Entah itu akan disampaikan setahun atau sepuluh tahun lalu, atau disampaikan sekarang, bila itu suatu kebenaran, tetap saja sebuah kebenaran. Kebenaran bersifat timeless. Ibarat bunga teratai, meskipun ditanam di air yang keruh, keindahannya akan senantiasa terpancar.

Aris Santoso, pengamat TNI , alumnus Progdi Sejarah FIB UI (d/h FSUI). Sahabat Haris Azhar.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait