Kamis, 21 September 23
Beranda Featured APHR Soroti Hambatan Bela HAM Rakyat ASEAN

APHR Soroti Hambatan Bela HAM Rakyat ASEAN

0

Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia/ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) menerima laporan adanya berbagai ancaman terhadap anggota legislatif yang justru berasal dari pemerintah-pemerintah di kawasan ASEAN, serta meminta agar pemerintah menghentikan ancaman dan gangguan sehingga para wakil terpilih ini dapat memenuhi tugas mereka di parlemen.

Dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia 10 Desember, APHR mendesak pemerintah – pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tersebut sebagai pengakuan terhadap HAM para anggota parlemen secara kolektif sekaligus sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai demokrasi substantif, termasuk pluralisme dan hak-hak minoritas.

“Sambil kita merayakan Hari Hak Asasi Manusia tahun ini, kita ungkapkan solidaritas dengan sesama anggota parlemen kita. Dalam banyak kasus baru-baru ini, anggota parlemen telah menghadapi berbagai ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya, serangan, dan penganiayaan hanya karena mereka melakukan pekerjaan keterwakilan mereka,” kata Anggota Dewan APHR, Mu Sochua, anggota Majelis Nasional Kamboja, Sabtu (10/12).

“Pemerintah semakin sering menggunakan pedoman yang sama pada anggota parlemen yang berpaham politk yang berbeda. Tekanan yang sama juga diberikan kepada para aktivis karena telah mengekspresikan kritik ke pemerintah yang sah dari dan menyalahgunakan sistem peradilan dan lembaga lainnya untuk mengejar agenda politik. Hal ini adalah masalah kawasan yang dapat merusak pemerintahan yang demokratis. Tentu saja ini menggerus ruang dan kemampuan para legislator untuk melakukan tugas selain tidak menghargai hak-hak rakyat yang telah memilih mereka,” ujarnya.

Pelecehan bermotif politik terhadap anggota parlemen dari beberapa negara Asean bukan fenomena baru, tetapi jumlah kasus telah meningkat dengan drastis dalam dua tahun terakhir, kata APHR. Pemerintah telah mengandalkan penyalahgunaan hukum yang ada untuk membungkam suara oposisi, yang mengarah pada penangkapan dan pemenjaraan anggota parlemen.

Para anggota parlemen juga menghadapi serangan fisik dan intimidasi, yang sering digabungkan dengan impunitas bagi penyerang mereka, misalnya:

Di Kamboja, pemimpin oposisi Sam Rainsy telah tinggal di pengasingan sejak akhir-2015 sebagai akibat kriminalisasi beberapa kasus pidana terhadap dia dan secara resmi dilarang untuk kembali pada bulan Oktober tahun ini. Dua senator dan salah satu anggota Majelis Nasional juga telah dijatuhi hukuman penjara sejak Oktober. Meskipun telah terdapat pengampunan dari raja yang terjadi baru-baru ini untuk pemimpin wakil oposisi Kem Sokha, ia dan para anggota lain parlemen masih menghadapi ancaman serius berupa potensi tuntutan pidana. Pada bulan Oktober 2015, dua anggota Majelis Nasional secara brutal dipukuli oleh massa pro-pemerintah.

Di Malaysia, pemimpin oposisi Anwar Ibrahim telah dipenjara sejak Februari 2015 dimana banyak yang berpendapat bahwa tuduhannya dimotivasi oleh politik. Sedikitnya delapan anggota parlemen lainnya juga menghadapi tuduhan, termasuk empat terpidana, dengan menggunakan Undang-Undang karet termasuk Undang-Undang terkait Hasutan (Sedition Act), Undang-Undang terkait Perkumpulan (Peaceful Assembly Act), dan Undang-Undang terkait Rahasia Resmi (Official Secrets Act).

Di Thailand, para mantan anggota parlemen telah menghadapi pembatasan perjalanan dan kegiatan mereka sejak kudeta militer pada Mei 2014. Para mantan anggota parlemen juga telah ditahan sewenang-wenang karena mengkritik junta militer yang berkuasa.

Di Filipina, kekhawatiran telah dikemukakan tentang hak-hak dan privasi anggota Kongres, serta standar ganda misoginis, dalam konteks dari investigasi terhadap Parlemen, dimana dalam bagian itu, terfokus kepada Senator Leila De Lima, yang telah meluncurkan kritik-kritik tajam terhadap kebijakan presiden terhadap perang kepada narkoba.

“Setiap tahun pada hari HAM kita selalu diingatkan tugas penting untuk menjaga hak-hak semua orang. Badan parlemen dan para anggotanya sangat penting untuk mencapai tujuan ini, dan kami berharap bahwa mereka dapat terus melakukannya dalam beberapa bulan dan tahun-tahun mendatang, “kata anggota Dewan APHR, Eva Sundari, anggota DPR RI.

“Pada saat yang sama, anggota parlemen memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan toleransi dan inklusi. Mereka juga harus menghormati hak-hak dan kontribusi perempuan dan tidak terlibat dalam pelecehan berbasis gender. Anggota parlemen tidak di atas hukum, dan harus berperilaku dengan cara yang menghormati hak-hak orang lain dan membela nilai-nilai inti dari demokrasi dan pluralisme,” tambah Sundari.

Sebagai pembela hak-hak semua orang, APHR dan para anggota parlemennya menyatakan solidaritas mereka dengan semua orang yang berusaha untuk mencegah pelanggaran dan menjamin akses keadilan bagi para korban. Mereka juga menengarai adanya upaya untuk menghilangkan atau melemahkan efektivitas parlemen dan lembaga lain yang dimaksudkan untuk membela demokrasi dan menjaga demi menolak otoritarianisme.

“Sambil kita menyaksikan penurunan demokrasi di kawasan dan juga aturan hukum yang terus memburuk, Asia Tenggara membutuhkan suara yang kuat di parlemen menyerukan keadilan dan hak asasi manusia,” kata Mu Sochua.

“Pihak berwenang di Filipina sedang mengobarkan perang mematikan pada narkoba, yang telah menewaskan lebih dari 5.000 orang. Di Myanmar, pimpinan, termasuk Aung San Suu Kyi, telah gagal untuk membela hak-hak minoritas, terutama Rohingya. Para anggota parlemen harus berada di garis depan perjuangan untuk melawan hal-hal ini dan pelanggaran lainnya,” tambahnya.

Hari Hak Asasi Manusia ditandai di tahun 1948 ketika Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/ Universal Declaration of Human Rights (UDHR) secara resmi diadopsi oleh Majelis Umum PBB/ UN General Assembly. UDHR menguraikan hak-hak yang diberikan oleh kepada semua orang. Hal itu dijamin secara luas di perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik/ the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya/ the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR).