
Pro kontra masih mewarnai atas terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Nunukan Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pajak Daerah yang menetapkan 10% pajak restoran di Nunukan yang dikenakan pada konsumen. Sebagaian Pelaku usaha jasa boga (rumah makan) juga menganggap pajak restoran tersebut dapat menyebabkan berkurangnya pelanggan.
Sebagaimana yang diutarakan Yusup salah seorang pemilik warung di Jl RA Kartini, ia merasa Perda ini dilematis. Pada satu sisi ia menyatakan akan taat terhadap aturan namun disisi lain kadang ia dihadapkan pada pelanggan yang enggan membayar pajak 10% tersebut.
“Saya ingin taat pada aturan, tapi kadang ada pelanggan yang makan disini terlihat enggan kalau saya mintai pajak. Sedangkan kenyamanan konsumen adalah salah satu kewajiban kami sebagai pemilik warung,” tutur Yusup, Kamis (20/12/2018).
Terkait Perda Pajak Restoran itu Yusup juga merasa khawatir akan adanya sangsi kepada para pemilik warung yang tak menjalankan keputusan Perda Pajak tersebut. Untuk itu dirinya berharap agar Pemkab serta DPRD Nunukan dapat memberikan solusi tanpa ada yang dirugikan.
“Kalau kami tak jalankan Perda (meminta konsumen bayar pajak makan 10%) itu, kabarnya warung akan ditutup oleh Satpol PP. Lantas bagaimana apabila ada pelanggan yang tak berkenan menbayar pajak itu?,” keluhnya.
Menanggapi hal tersebut, Tokoh Perbatasan yang juga Anggota DPRD Kabupaten Nunukan Marli Kamis mengungkapkan bahwa persoalan dari Perda Pajak itu bisa jadi karena kurangnya sosialisasi sebelum perda di keluarkan. Marli menuturkan bahwa Perda Pajak tersebut di terbitkan pada tahun 2015 pada saat perekonomian Nunukan stabil.
“Contoh gampang saja, tahun 2015 rata-rata para penjual daging dari pagi hingga jam 3 sore mampu menjual 15 kg. Itulah yang bisa juga jadi salah satu dari beberapa pertimbangan untuk diterbitkanya Perda itu. Tapi saat ini mereka hanya mampu menjual sekitar 5 kg tiap hari dan itupun dari pagi hingga sore,” ungkapnya.
Namun Marli juga menampik anggapan yang mengatakan Perda Pajak tersebut untuk kepentingan Pemerintah. Marli menegaskan bahwa pajak itu akan kembali dinikmati masyarakat dalam bentuk bertambah nyaman sarana vasilitas publik atau insfratruktur lainya.
“Uang dari konsumen rumah makan itu lah yang aka bermanfaat kepada orang lain nantinya. Bisa menambal jalan rusak, perbaiki rumah-rumah Ibadah dan vasilitas lainya,” paparnya.
Marli menegaskan bahwa Pemerintah sama sekali tak punya maksud untuk membebani masyarakat. Tapi menurutnya, jika masyarakat bisa menelaah lebih dalam, dalam Perda Pajak tersebut akan terlihat pesan untuk berbagi dan merasa punya andil untuk negara.
“Di Nunukan ini, kadang saat kita mendapat kembalian uang belanja berupa permen,kita lazimkan. Sementara kita diminta 2 ribu rupiah dalam 20 ribu harga makanan, kita malah keberatan,” katanya.
Lebih lanjut Marli menegaskan bahwa DPRD Nunukan bukan lembaga yang anti kritik, sehingga ia mempersilahkan apabila ada pihak yang akan mengajukan hearing mengenai Perda Pajak tersebut. Namun mengenai kabar yang menyebutkan adanya sangsi penutupan warung jika tak menjalankan amanat Perda, Marli dengan tegas menolak wacana itu.
“Saya akan cek kebenaran berita itu. Sedang masih wacana saja saya akan tolak, apalagi jika sampai dijakankan. Ingat, jangan sampai peraturan atau kebijakan tega menginjak kemanusiaan,” pungkas Politisi Partai Demokrat tersebut.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.