
Menurunnya harga CPO di dunia tak bisa dipungkiri akan berdampak pada ketidakstabilan harga Tandan Buah Sawit Segar (TBS), yang menekan ekonomi para petani sawit. Bahkan di wilayah perbatasan seperti Kalimantan Utara, yang sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup dari sawit, rendahnya harga TBS akan berimbas pada ekonomi masyarakat di perbatasan.
Hal tersebut diutarakan Aktifis yang juga Bendahara Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT) Kabupaten Nunukan Andi Suryani, Jumat (28/9/2018). Ia meminta agar semua stakeholder dapat memandang persoalan ini sebagai hal yang urgen dan tidak terkesan tutup mata.
Memang menurutnya, penurunan harga terjadi akibat perang dagang antara AS dengan China yang menekan permintaan kelapa sawit secara global. Pada situasi demikian, ia meminta Pemerintah perlu turun tangan untuk stabilisasi harga.
“Dari dulu hal ini saja yang terus terjadi. Padahal sawit di wilayah perbatasan ini adalah mata rantai perekonomian yang menyangkut hajat hidup orang banyak,” ujar wania ayu yang akrab dipanggil Yani tersebut.
Menurut Yani, banyak cara dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan terkait rendahnya harga sawit yang dialami para petani di wilayah Kalimantan Utara. Diantaranya, pasca penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS), Tim Penetapan harus mengawal lansung ke lapangan. Hal itu disamping sebagai bentuk croscheck, juga agar dapat diketahui permasalahan, mengapa harga TBS di wilayah Kalimanan Utara sangat rendah.
“Tim Penetapan hara TBS mesti turun langsung ke lapangan agar tahu persoalan apa yg menyebabkan harga sawit petani di Kaltara rendah dibanding daerah lain,” imbuhnya.
Sebagaimana diketahui, variasi harga TBS periode Agustus-September 2018 untuk Kalimantan Utara untuk sawit berusia 3 tahun adalah Rp 1.147,19 tiap Kilogramnya dan Rp 1.275,45 per kilogram untuk sawit berumur 10 tahun. Sedangkan di Riau, harga Tandan Buah Segar untuk umur 10-20 tahun mencapai Rp 1.529,48 tiap Kilogramnya.
Hal inilah yang menurut Yani harus diketahui penyebabnya. Karena ikllim dan kondisi tanah antara Kalimantan Utara dengan Riau cenderung sama, maka jika perbedaan harga karena menyangkut kwalitas buah, tentu permasalahan terletak pada perawatan.
Selain itu, Yani meminta agar pengalokasian dana dari Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDB) agar lebih dioptimalkan. Terutama untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Petani Sawit. Karena selama ini sebagian besar dana BPDB masih dikembalikan kepada industri guna menutupi selisih harga biodisel dengan solar.
“Jika sumber daya manusianya bagus, tentu dalam mengelola pertanian juga akan menghasilkan buah yang berdaya saing,” tandasnya.
Wanita yang juga anggota Forum Alumni HMI Wati (FORHATI) itu menepis anggapan bahwa dengan menjual hasil panen sawit ke Malaysia akan menguntungkan para petani. Menurutnya, hal tersebut hanya akan menguntungkan segelintir orang tapi tak kan berimbas kepada petani selaku produsen.
“Itu sih bukan solusi, karena yang akan diuntungkan hanya beberapa gelintir orang sementara nasib petani tetap sama. Disamping itu, legal nggak?. Disinilah pemerintah harus membuktktikan bahwa kemandirian ekonomi itu terwujud kedaulatan tetap terjaga,” tegas Poitisi PPP tersebut.
Yani juga meminta agar Pemerintah Daerah benar-benar mampu mengalokasikan APBD secara tepat terutama untuk sektor pertanian. Karena selama ini ia melihat, alokasi APBD untuk insfratruktur yang lansung menyentuh kepada sektor pertanian (jalan tani) walau sudah mengalami peningkatan tapi masih sangat kurang.
“Dengan insfratruktur yang langsung menyentuh lahan para petani, itu akan mempermudah pihak perusahaan yang akan mengambil buah dari petani. Jika aksesnya mudah dan cepat, tentu biaya operasional mereka akan berkurang sehingga tak ada alasan lagi untk tidak menaikan harga Tandan Buah Segar dari para petani,” pungkas Yani.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.