Sangat beruntung bisa bertemu Alit Ambara di sela-sela acara “Panjang Umur Perlawanan! Tolak Reklamasi Teluk Benoa” yang dihelat ForBALI di Kemang Jakarta, Kamis (15/9/206) malam lalu. Alit adalah alumni Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Jurusan Seni Patung (1993) dan studi Art History di Savannah College of Art & Design (SCAD) di Savannah, Georgia, USA (1998).
Saat ini, Alit termasuk salah satu figur kunci dibalik gerakan ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi). Puluhan desain grafis karya Alit termanifestasi dalam beragam media kampanye dan sekaligus jadi penghubung pengetahuan antar elemen masyarakat Bali dan di luar Bali. Karya Alit harus diakui turut mengamplifikasi gerakan ForBALI hingga saat ini.
Di tengah ingar-bingar musik dari sejumlah penampil acara, kepada indeksberita Alit bercerita tentang ForBALI yang menurutnya lebih dari sekadar gerakan tolak reklamasi, melainkan sebuah gerakan besar untuk keadilan, berikut adalah petikannya.
Bisa bung ceritakan, apa sebenarnya gerakan ForBALI ini?
ForBALI saat ini bukan hanya sebagai gerakan untuk menolak reklamasi Teluk Benoa. ForBALI sudah menjadi gerekan besar dalam memperjuangkan pelestarian lingkungan, perjuangan menjaga keberlangsungan adat, dan menolak kebijakan yang pro modal yang dibuat tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Singkatnya, ForBALI sudah menjadi gerakan besar untuk keadilan bung.
Saya melihat ini sebuah kemajuan besar, karena selama ini tradisi Bali bukan tradisi gerakan. Untuk memasang satu baliho saja di desa, beberapa jam saja sudah diturunkan lagi, sekarang malah di semua titik-titik strategis di wilayah Bali Selatan dan Denpasar serta wilayah lainnya, terdapat baliho-baliho yang menunjukan protes terhadap reklamasi ini.
Apakah kesadaran masyarakat tersebut muncul, karena sebelumnya sudah terjadi reklamasi di dua tempat, di Serangan dan Nusa Dua, dan ternyata kemudian hasil reklamasi tersebut membuat kecewa masyarakat?
Sebenarnya kekecewaan masyarakat Bali, bukan hanya di dua hal tadi (Reklamasi di Sarangan dan Nusa Dua). Kita masih ingat dengan pembangunan Bali Nirwana Resort, juga menuai protes tetapi kemudian pembangunan tetap berjalan.
Nah…rencana untuk reklamasi Teluk Benoa, tidak boleh terjadi. Harus ditolak. Kami sekarang menjadi peduli. Kita tidak mau hanya tahu dari media, terus mendiamkannya. Sama seperti rencana pembangunan sirkuit di Bali, kita baru tahu dari media.
Akibat dari semangat ForBALI ini, saya rasa masyarakat Bali akan lebih responsif dan kritis melihat apa yang akan terjadi di Bali.
Sebagai catatan, BNR (Bali Nirwana Resort) adalah proyek resor internasional yang dibangun oleh keluarga Bakrie. Proyek tersebut memindahkan kepemilikan tanah milik masyarakat seluas 120 hektar dan 135 KK harus rela digusur. Untuk di Serangan, reklamasi sudah dilakukan, menghubungkan antara Pulau Bali dan Pulau Sarangan. Dilakukan oleh PT BTID milik Bambang Trihatmodjo. Tetapi kemudian terbengkalai dan menjadi penyebab utama banjir, lalu oleh pemda dijadikan wilayah konservasi. Pemda, LSM dan masyarakat, kemudian bekerjasama merehabilitasinya dengan penanaman bakau. Sedangkan reklamasi Teluk Benoa, akan dilaksanakan oleh Tommy Winata, melalui PT. TWBI (Tirta Wahana Bahari International).
Lantas, mengapa gerakan ForBALI kemudian menjadi besar?
Pertama gerakan ini telah menjadi gerakan adat, gerakan budaya, mereka melakukan aksi-aksi dengan berpakaian adat. Dan ini menarik kelompok masyarakat lainnya yang tadinya belum terlibat.
Kedua, dukungan anak-anak muda demikian besarnya. Mereka besar di paska Orde Baru. Mereka tidak memiliki trauma atas kejamnya orde baru, sehingga tidak takut, bahkan tidak terpikir bahwa ini beresiko. Kemudian anak-anak muda pekerja seni, seperti Jerinx dan Superman is Dead, membuat gerakannya semakin populer.
Sehingga saat ada intrik-intrik pendanaan dan tuduhan bahwa ini berbau PKI, separatis, dan lain-lain, mereka gak gentar. Dan perjuangan makin meluas. Tentu selain kedua hal ini, juga adanya kesadaran akibat negatif dari reklamasi, seperti yang kita bahas sebelumnya
Saat ini teman-teman ForBALI melakukan kampanye lewat musik di Jakarta. Sebelumnya melakukan aksi juga di Jakarta. Apakah gerakan ForBALI bisa diikuti oleh teman-teman Jakarta untuk menolak reklamasi Teluk Jakarta?
Kita harus ingat penolakan reklamasi di Benoa sudah lama, hampir 3 tahun. Demikian pula penolakan terhadap reklamasi Teluk Jakarta. Tapi kami di Bali mengutamakan gerakan anti reklamasinya, bukan anti Mangku Pastika-nya. Nah temen-temen di Jakarta juatru kencangnya di anti Ahok-nya. Masyarakat menangkap itu.
Kedua, di Bali, adat berperan besar sebagai faktor pengikat. Saat sekelompok masyarakat aksi turun ke jalan dengan pakaian adatnya, maka ini bisa menarik masyarakat Bali lainnya. Mengambil pendekatan adat tidak terjadi di Jakarta. Dan agak susah ya kalau pendekatan itu dilakukan, mau pakai pakaian adat apa di Jakarta? Nah ini yang harus dipikirkan oleh temen-temen di Jakarta tentunya.
Peran Alit Ambara dalam gerakan ForBALI diakui melalui poster-poster yang dibuatnya untuk mendukung gerakan ini. Karyanya ini digunakan secara resmi oleh gerakan ForBALI. Tetapi poster perlawanan Alit sudah merentang sejak jauh sebelumnya, saat terlibat aktif melawan rejim Orde Baru.
Apakah gerakan ForBALI ini tidak takut akan menghambat investasi pariwisata, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi di Bali?
Ah itu kesan negatif yang sengaja dihembuskan untuk melemahkan gerakan ini. Kalau mau jujur, sebenarnya pembangunan kepariwisataan di Bali masih menyemut di wilayah Selatan Pulau Bali. Wilayah Selatan sudah jenuh. Sedangkan wilayah utaranya masih kosong. Kenapa investor tidak berinvestasi di wilayah utara saja. Bukankah kalau itu dilakukan (membangun wilayah utara), maka keadilan pembangunan dapat tercapai. Mereka ingin enaknya saja bermain di dalam kerumunan yang sudah ada, tanpa peduli itu akan merusak lingkungan.
Jawaban Alit terdengar tegas dan pedas. Panggung pertunjukan usai, malam semakin larut, dan kami pun sepakat untuk sementara berpisah.
Jangan rusak bali demi reklamasi