Di darat! Itulah pesan terpenting keputusan Presiden Joko Widodo dari Kota Palangkaraya. Pokok perkaranya terkait proyek pembangunan kilang gas Blok Masela, di wilayah Laut Arafura, Kabupaten Maluku Tenggara Barat .
Tentu kita menghargai keputusan itu, plus percaya bahwa presiden telah menimbang secara mendalam sekian masukan, kajian, dan pertimbangan sebelum mengambil keputusannya. Salah satunya, pembangunan kilang di darat dipandang punya efek multi lebih besar bagi pengembangan ekonomi secara nasional maupun regional.
Membangun kilang di darat memungkinkan gas disalurkan ke pabrik-pabrik setempat dengan pipanisasi dari tengah laut. Jadi tidak harus mengubah kembali LNG menjadi gas melalui proses regasifikasi jika kilangnya dibangun di laut.
Dengan demikian, negara tidak hanya mendapat pemasukan dari penjualan gas, tapi juga dari industri yang akan berkembang di wilayah setempat, seperti industri kimia, industri pupuk, dan industri lain yang bisa menggerakkan sektor ekonomi pendukung lainnya.
Dalam manajemen kebijakan, keputusan itu mengisyaratkan satu hal bahwa kita telah melewati satu babak awal yang paling krusial. Dengan begitu kita dapat mulai beranjak menuju babak-babak berikutnya untuk mewujudkan proyek ini sesuai jadwal.
Bahwa kemudian ada pihak yang kecewa atau tak suka, itu pasti dan wajar belaka. Pun sebaliknya,bila ada pihak yang senang dan sekaligus merasa menang. Begitulah watak umum tiap kebijakan. Ia tak mungkin selalu dapat menyenangkan semua orang.
Apresiasi kita tentu semata-mata bukan karena ada uang milyaran dollar Amerika yang terlibat dalam proyek ini. Melainkan karena keputusan kebijakan seperti itu memang harus dibuat. Itu adalah bagian dari tugas seorang pemimpin. Memutuskan dan memberi kepastian.
Harus dikatakan, pembiaran seperti yang terjadi akhir-akhir ini malah memunculkan penilaian miring tentang kapasitas kepemimpinan di negeri ini. Terlebih saat publik terang melihat drama antar pejabat yang saling berbantahan dan saling menyalahkan. Bahkan, meski samar-samar terlihat, radar publik dengan jeli dapat mencium gelagat bahwa ada kepentingan-kepentingan tertentu dibalik polemik yang terjadi.
Mengapa, misalnya, Sudirman Said dan Amien Sunarjadi terkesan di publik begitu ngotot dengan skema “offshore”, sementara Rizal Ramli demikian keukeuh dengan skema sebaliknya, “onshore”. Ini memang bukan “pertandingan” olah raga, seperti kata Sudirman. Namun kini jadi terang siapa sebenarnya yang girang. Gubernur Maluku dan jajaran aparat pemerintahan ke bawahnya,itu sudah pasti. Selain mereka, para calo atau spekulan tanah, serta kompani swasta yang konon salah satu pemiliknya adalah seorang petinggi negara. Perusahaan itu bahkan kabarnya sudah menguasai lahan seluas 200 hektar di Pulau Selaru, dekat Pulau Yamdena.
Sisi baiknya, pembangunan proyek ini menjadi seperti buku yang terbuka. Bagaimanapun, perang wacana yang terjadi antar menteri, pengamat, dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi, sedikit banyak membuat publik tercerahkan. Artinya, keputusan presiden setidaknya dimaknai sebagai sintesa dari dialektika gagasan di ruang-ruang publik. Bukan lewat mimpi atau wangsit dari alam lain. Meskipun, sebagaimana biasa, sejumlah hal tetap saja tersembunyi rapi dan tak terbaca dengan gamblang.
Di lain pihak, Inpex selaku kontraktor proyek masih enggan mengambil kesimpulan dan keputusan apapun, termasuk keputusan apakah akan tetap bertahan atau hengkang. “Masih terlalu pagi. Masih menunggu keputusan resmi. Masih harus mengkonfirmasi fakta yang ada. Ini satu proses panjang dan rumit”. Begitu kalimat resmi juru bicaranya.
Sikap itu dapat dimengerti, mengingat keputusan presiden otomatis mengubah total proyeksi pembangunan yang telah mereka buat selama bertahun-tahun. Utamanya karena keputusan itu bertentangan dengan skema yang sebelumnya diajukan mereka kepada pemerintah, yaitu kilang lepas pantai (offshore). Alhasil, mereka mau tak mau harus mengubah PoD (Plan of Development) atau rencana pengembangannya. Itulah babak berikutnya dari proyek Blok Masela.
Sebagai gambaran, teken kontrak proyek Blok Masela dilakukan pemerintah Indonesia dengan INPEX (Jepang) dan mitranya dari Belanda, Shell, pada 1998. Selaku operator, INPEX memegang 65% saham, sedangkan Shell 35%. Waktu pengelolaan ditetapkan selama 40 tahun atau sampai 2028. Pada 2010, keduanya mengajukan PoD dengan skema kilang gas alam cair (LNG) lepas pantai berkapasitas 2,5 juta ton per tahun. Rencana itu kemudian direvisi dengan peningkatan kapasitas menjadi 7,5 juta ton per tahun, pada 2015
Ihwal keterlibatan asing sejak lama jadi persoalan lain dalam tata kelola sumber daya alam Indonesia. Pemerintah mestinya menunjuk BUMN Pertamina sebagai kontraktor di sana. Bahkan ubah segera UU Migas. Begitu kata anggota parlemen cum ahli perminyakan, Kurtubi. Belakangan, Pertamina memang mengatakan ingin ikutan dengan membeli 20 persen saham.
Namun, terlepas asing atau aseng, hal terpenting yang harus jadi perhatian kita adalah memastikan bahwa proyek Blok Masela ini betul-betul berdampak positif bagi perekonomian lokal dan nasional sebagaimana kata presiden. Apalagi pembangunan kilang gas di darat begitu digadang-gadang punya efek pengganda ekonomi dalam rangka pengembangan wilayah Maluku dan sekitarnya.
Belajar dari wilayah lain dimana terdapat proyek eksploitasi sumber daya, justru itu persoalan kita sesungguhnya. Sebab, selama ini terbukti investasi milyaran dollar tak selalu berbanding lurus dengan meningkatnya tingkat kemakmuran daerah dan masyarakat sekitar wilayah eksploitasi. Silakan bertanya pada saudara-saudara kita di Lhokseumawe, Riau, Kalimantan Timur, Papua, Bojonegoro, atau Bangka Belitung, misalnya. Mari bertanya pada nurani kita. Mumpung masih babak pertama. (np).