Selasa, 21 Maret 23

Adriyani Badrah Direktur Celebes Institute: Modal Kami Hanya Riset Saat Terjadi Konflik di Sulawesi Tengah

Adriyani Badrah, atau yang biasa disapa Adhy, adalah Direktrur Eksekutif Celebes Institute. Lembaga yang berdiri tahun 2011 ini pendiriannya diprakarsai oleh sosiolog George Junus Aditjondro; penulis buku “Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century”.

Riset adalah cara Celebes Institute untuk mengetahui latar belakang konflik yang marak terjadi di Sulawesi Tengah. Mulai dari konflik agraria hingga konflik sosial. Salah satunya Poso, yang pernah dilanda konflik sosial berkepanjangan selama 20 tahun, juga tak lepas dari objek riset Celebes Institute.

Satu pekan lalu indeksberita.com mewawancarai Adhy di kantornya, di Jalan Tanjung Manimbaya, Tatura Utara, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Dalam wawancara tersebut, ia menjelaskan, konflik Poso yang terjadi selama ini, yang terjadi bukan konflik agama; Islam dan Kristen. Tetapi lebih pada dilatarbelakngi persoalan sumber daya alam.

“Sengaja ada pihak yang melakukan framing, menginginkan konflik Poso menjadi konflik agama, “ kata Adhy.

Untuk menjelaskan riset apa saja yang sudah dilakukan Celebes Institue di tengah konflik di Sulawesi Tengah. Berikut wawancaranya.

Apa yang membuat Celebes Institute berdiri dan yang melatarbelakangi lembaga ini dibentuk?

Begini…, di tengah maraknya konflik-konflik rakyat ya, yang terkait konflik agraria, terkait konflik sumber daya alam, terkait dengan konflik sosial agama. Di Sulawesi Tengah ini kemudian terpikirlah dan perlu hadir suatu lembaga ini, dengan nama Celebes Institute. Tujuannya untuk melakukan studi atau lebih tepatnya riset.

Banyak lembaga-lembaga memang di Sulawesi Tengah ini, baik studi atau lembaga riset. Tetapi kami melihat bahwa apa yang dihasilkan, tidak bisa dipakai sebagai rujukan, pembanding, atau bahkan untuk mengadvokasi.

Nah, latar belakang inilah yang mendorong beberapa dewan pakar, seperti Arianto Sangaji dan almarhum George Aditjondro ketika itu, menginginkan ada lembaga studi seperti Celebes Institute yang mengurusi persoalan rakyat dengan cara melakukan riset atau studi.

Kenapa fokus pada konflik dan sejauh mana hasil riset  digunakan dalam menangani konflik yang memang marak di Sulawesi Tengah?

Berdasarkan arahan kedua pakar kami pada waktu itu, Arianto Sangaji maupun almarhum George Aditjondro. Berdua melakukan riset, baik dengan cara riset observasi maupun riset investigasi. Kemudian hasil dari riset itu biasanya digunakan oleh berbagai stakeholder, termasuk pemerintah. Pemerintah bisa menggunakan sebagai pengorganisasian dalam kebijakannya.

Tetapi yang terjadi dalam kenyataannya, negara dalam hal ini pemerintah, tidak pernah hadir dalam setiap persoalan yang terjadi, baik di tengah konflik agraria maupun konflik sosial agama.

Malah yang terjadi justru, negara sama sekali tidak memberikan solusi secara konkret. Selalu mensimplikasikan, setiap problem atau persoalan ketika itu telah ada. Nah, jadinya negara seperti pemadam kebakaran saja. Mematikan sejenak. Tetapi kemudian akan muncul lagi letupan-letupan baru, atau api-api yang lain. Ibaratnya kebijakan ini, kan akhirnya dikatakan kebijakan yang mirip suplamen, yang sifatnya jangka pendek.

Adakah pengalaman riset agraria yang pernah dilakukan Celebes Institute?

Ada. Contohnya di Kabupaten Banggai yang pernah kami riset secara observasi, investigasi, dan kami pun melakukan advokasi. Yang hingga sekarang sebenarnya konflik itu belum ada penyelesaiannya, yaitu persoalan konflik sengketa tanah antara PT KLS (PT Kurnia Luwuk Sejati) dengan masyarakat petani Kecamatan Toili di Kabupaten Banggai.

PT KLS memiliki perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri  di Kecamatan Toili dan Toili Barat Kabupaten Banggai. Yang peristiwanya terjadi pada 26 Mei 2010. Pada saat itu berujung terjadi aksi pengerusakan dan pembakaran alat berat, kantor milik perusahaan (PT KLS). Dan berujung pada penangkapan 13 petani.

Nah, dari sini negara sama sekali tidak pernah hadir. Padahal kalau dilihat dari kesejarahannya atau kronologinya. Perjalanan lahan itu terang, ada pemerintah di sana. Saya menyebut ada pemerintah, karena pada tahun 1995  terjadi atau melalui program transmigrasi Swakarsa Mandiri dengan pola Agroestate. PT KLS mengikuti tender dan kemudian mendapat persetujuan pemerintah.

PT KLS melepas Hak Guna Usaha (HGU) seluas 275 Hektar. Dan memperoleh dana kompensasi sebesar Rp 800 juta dari APBN untuk keperluan pembebasan lahan dan pembangunan perumahan. Sebagai program uji coba, peserta dibatasi hanya 100 KK pada saat itu, terdiri dari 50 KK yang berasal dari masyarakat luar daerah dan 50 KK masyarakat lokal.

Sesuai ketentuan lahan yang sudah dilepas, sekitar 50 Hektar yang kemudian dimanfaatkan untuk lahan tanaman pangan dan fasilitas umum. Seperti sekolah, pos layanan kesehatan, sarana ibadah. Dan 25 Hektar untuk perumahan dan sisanya untuk tanaman coklat, kakao. Setiap peserta transmigrasi di situ secara total mendapat lahan seluas 2 Hektar, dengan pembagian seperempat (¼) Hektar untuk rumah dan pekarangan. Dan sepertiga (¾) Hektarnya untuk lahan tanaman pangan,  dan lagi 1 Hektar untuk tanaman kakao.

Perusahaan diwajibkan membangun perumahan pada saat itu,  yang layak huni tentunya. Sedangkan tanaman pangan dilakukan sendiri oleh peserta, dengan syarat transmigrasi jika sudah menempati pembagiannya masing-masing. Namun kenyataannya, begitu peserta transmigrasi yang berasal dari pulau Jawa tiba di lokasi. Apa yang mereka dapati para transmigran? Berbeda dengan janji yang sebelumnya disampaikan. Tidak sesuai dengan gambaran di brosur. Rumah dibuat tidak layak, di lahan-lahan berserakan kayu bekas tebangan, dan kakao yang terdapat dalam brosur siap produksi ternyata sudah banyak yang mati.

Rekam jejak Adriyani Badrah, Direktur Celebes Institute
Rekam jejak Adriyani Badrah, Direktur Celebes Institute

Ini yang membuat kemarahan transmigran. Kalau tidak salah ada 21 peserta dari Jawa langsung kembali ke daerah asalnya. Ada juga peserta lain yang mencoba untuk mengelola lahan. Selama mengelola mereka memenuhi persyaratan, mulai dari membayar kredit angsuran bulanan. Walaupun mereka tidak tahu secara jelas, jumlah total yang harus dilunasi, dan sampai kapan batas waktu penyelesaian kredit lahan tersebut.

Apa yang terjadi selanjutnya? PT KLS justru melakukan penggusuran lahan masyarakat petani. Tanaman di lahan tiba-tiba rata dengan tanah. Alasan PT KLS melakukan penggusuran, Surat Keterangan dari Dinas Transmigrasi pada waktu itu, pada 10 September 2008 No.593/710/Nakertrans.

Nah, selama konflik yang sebenarnya belum selesai itu, pemerintah justru malah tidak hadir, kan yang terjadi malah memperkeruh situasi dengan mengelurkan surat keterangan, yang tentu saja bertentangan dengan kesepakatan awal.

Bukankah pemerintah sedang menggencarkan program redistribusi lahan untuk masyarakat?

Nah itu yang sebenarnya pertanyaan kami. Program itu kita tahu ya, memang menjadi agenda hampir setiap rezim pemerintahan ini. Diskursus, atau wacana yang terjadi mengenai redistribusi lahan ini, bukan hal yang baru sebenarnya. Istilah lama, sejak awal Negara Indonesia ada, wacana ini selalu ada.

Dan wacana itu kembali mencuat, ketika pemerintahan sebelum pemerintahan sekarang, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Kemudian mencuat lagi, zaman sekarang pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Mereka menyebut program reforma agraria. Istilah yang juga dikenal dalam pengertian land reform, yang salah satu programnya adalah redistribusi lahan.

Namun kenyataannya, pemerintah melihatnya simpel saja. Reforma agraria dipahami dengan bagi-bagi sertifikat. Padahal tidak sesederhana itu, tidak sesimpel itu kan? Maka saya membuat rujukan sebagai refleksi kritis, melakukan penelitian dari berbagai yang kasus yang terjadi.

Contoh kasus yang menjadi riset kami, korban kebijakkan resettlement lahan di Kabupaten Sigi. Meskipun kebijakan itu, di beberapa desa yang menjadi penelitian kami terjadi sejak tahun 1907.  Dan kita tahu kolonial sendiri secara fisik sudah meninggalkan tanah air. Tetapi praktik-praktik penyingkiran terhadap para petani, yang dilakukan negara maupun non negara, masih terjadi. Dengan alasan apapun. Mulai dari privatisasi lahan, konservasi hutan.

Nah, yang terjadi apa? Ekspansi pertambangan dan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit semakin masif. Bagaimana pemerintah menyelesaikan persoalan ini? Pastinya bukan membagi-bagi sertifikat kan?

Saya pikir bagaimana pemerintah ini melakukan perubahan, serta perombakan sosial. Tentu saja harus dilakukan dengan cara kesadaran, supaya stuktur agraria ini lebih mengarah lebih sehat dan merata, adil, tidak ada ketimpangan, tidak ada persoalan, bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa.

Riset  Anda soal  masyarakat adat ?

Begini ya. Sekarang siapa yang disebut masyarakat adat? Di kami tidak ada istilah  masyarakat adat. Kami hanya mengenal struktur  masyarakat. Dalam riset yang kami lakukan. Kami hanya mengenal istilah indigenous people, penduduk  asli.

Secara organisasional kontek itu, kami tidak masuk untuk melibatkan. Yang kami maksud dalam masyarakat adat dalam riset-riset kami di Sulawesi tengah ini, yaitu masyarakat yang sumber produksinya bergantung pada sumber daya alam. Seperti tanah, udara dan air, segala yang terkandung di dalamnya. Di tempat itu mereka hidup dan menghidupi diri mereka. Kenapa kami tidak masuk dalam isu-isu masyarakat adat. Entah nanti ya ke depan nggak tahu ya. Sebab dewan pakar kami, Arianto Sangaji agak terganggu dengan konsep atau definisi masyarakat adat, ketika mengklasifikasi masyarakat.

Kami sepakat melihat dari sisi alat produksi, ketika mengklasifikasi masyarakat adat. Local wisdom atau tata kelola kalau melihat masyarakat adat. Tata kelola itu ya merawat, melestarikan seperti itu.

Ada beberapa klaim memang, tentang masyarakat adat. Gitu kan! Tapi itu klaim, tetap bukan bicara local wisdom-nya. Saya bicara local wisdom masyarakat. Saya bicara nilai-nilai budayanya. Contohnya budaya lokal di Poso, kita mengenal Sintuvu Maroso. Itu local wisdom. Kebersamaan, kekeluargaan, dan gotong royong. Itu nilai-nilai. Kalau saya sih masih sepakat pada itunya.

Sekarang apa local wisdom kita definisikan atau konsepsikan sebagai masyarakat adat? Kalau saya tunggu dulu. Kalau saya bicara itu misalnya, apakah itu diklaim sebagai masyarakat adat? kemudian kalau saya pergi di Waemanje atau Suku Da’a, misalnya sana. Saya mungkin mengatakan bukan masyarakat adat. Semua masyarakat ini semua beradat. Punya adat yang turun temurun yang memang konstruksi bangunannya buatan manusia.

Bisakah setiap konflik yang terjadi Celebes Institute melakukan pencegahan?

Pencegahan? Saya pikir bukan pencegahan ya. Misalkan konflik sosial atau agama yang pernah terjadi di Poso. Yang kami lakukan ketika itu, konflik saat itu, ya kami hanya sebatas mengamati, menulis, kemudian mempublikasikan dan bergerak.

Kalau memang kami lakukan, itu kami hanya bisa melakukan sebatas konsolidasi. Artinya mendekati ke kelompok-kelompok yang bertikai. Kenapa mereka sampai berkonflik? Kami tidak menemukan secara parsial bahwa itu konflik agama, yang melatarbelakangi. Saya tidak menuduh, kenapa konflik sosial di Poso kemudian diframing menjadi konflik agama?

Dari hasil riset kami, yang jelas lebih pada persoalan sumber daya alam di sana. Ini bisa dilihat dari penyelesaian yang dilakukan pemerintah. Pemerintah tidak melihat local wisdom yang ada di Poso.

Nah, persoalan rakyat, terkait konflik agraria, terkait konflik sumber daya alam, konflik sosial agama. Ini kan tidak melihat batas waktu dan demografi. Walaupun sama problem sama, cuman yang membedakan adalah waktu dan tempat.

Diagnoses juga tidak bisa disamakan dengan apa yang terjadi di provinsi A misalnya. Kemudian pengobatannya sama apa yang terjadi di provinsi B. Karena di situ ada kultur yang berbeda. Ada pola-pola penyelesaian juga yang diselesaikan melalui adat. Kemudain juga kekuatan local wisdom, juga sangat mempengaruhi penyelesaian-penyelesaian itu, juga diperlukan menyelesaikan permasalahan itu.

Kami tidak akan melihat, kasus-kasus itu per case dalam waktu pendek. Penangkapan dalam kasus agraria misalnya. Ini kenapa, ya karena ada pihak-pihak dari kehutanan, ada pihak polisi hutan. Ada penggusuran. Kami melihat bahwa ini tanggung jawab BPN. Ada perampasan sertifikat.

- Advertisement -
Berita Terbaru
Berita Terkait