Hari ini, Jumat (7/4/2017) tepat 3 tahun pemerintahan Bima Arya dan Usmar Harimar sebagai kepala dan wakil kepala daerah Kota Bogor. Dibalik klaim keberhasilan pembangunannya, ternyata ada berkomentar berbeda soal kepemimpinan duet Bima dan Usmar.
Seperti yang dikatakan anggota Komisi A, DPRD Kota Bogor, Budi. Menurutnya, 3 tahun kepemimpinan Bima dan Usmar disebutnya belum berpihak pada pembaruan kesejahteraan rakyat.
“Salah satu sebagai ukuran yakni sisa anggharan (Silpa) Kota Bogor dua tahun terakhir, pada tahun 2015 senilai Rp349 miliar, kemudian pada tahun 2016 Rp309 miliar. Artinya, masih banyak serapan anggaran yang tidak termanfaatkan bagi masyarakat luas,” tukas politisi PDI Perjuangan Kota Bogor saat diwawancarai indeksberita.com, di ruang komisi A DPRD Kota Bogor, Jumat (7/4/2017).
Dikatakan Budi, idealnya Silpa yang sehat itu dibawah 3 persen dari total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
“Namun, faktanya total sisa anggaran lebih dari 3 persen. Dan, anggaran tersebut bukan termasuk anggaran efisiensi di lintas OPD (Organisasi Perangkat Daerah). Kalau pun penggunaan anggaran 100 persen, hal itu hanya berlaku pada pembiayaan rutin seperti gaji pegawai, belanja daerah. Sementara, pemanfaatan anggaran untuk masyarakat malah tidak optimal,” ujarnya menyangkan.
Politisi yang juga Ketua Banteng Muda Indonesia (BMI) Kota Bogor juga menyampaikan, program enam skala prioritas Kota Bogor yakni penataan transportasi dan angkutan masal, pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL), kebersihan, penanggulangan kemiskinan, transformasi budaya dan reformasi birokrasi, dan penataan ruang terbuka hujau yang dicanangkan Bima dan Usmar juga jauh dari penilaian memuaskan.
“Dimulai dari penataaan PKL, warga Kota Bogor bisa menyimpulkan sendiri. Terkait reformasi birokrasi, sampai saat ini juga belum optimal. Sejauh ini di Kota Bogor juga masih banyak bangunan komersil tak ber IMB yang melanggar RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) akibat tidak jelinya pelayanan perizinan. Selain itu, ketersediaan RTH di Kota Bogor masih jauh dari ideal sebagaimana amanat UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan minimal 30% dari wilayah kota harus berwujud RTH,” tuturnya.
Terpisah, mengkomentari 3 tahun kepemimpinan Bima-Usmar, Ketua Front Pembela Indonesia, Sugeng Teguh Santoso berkomentar, prestasi menekan kemacetan Kota Bogor belum terlihat.
“Selain itu, pembuatan taman dan trotoar harus diapresiasi secara terukur. Sebab, keberadaan taman dan trotoar telah memberi keindahan kota dan dapat meningkatakan kepercayaan publik. Taman-taman yang dibangun harus diapresiasi karena taman bukan hanya membuat indah tapi juga adalah titik destinasi yang bisa meningkatkan kohesi warga. Serta, tempat warga berinteraksi,” kata pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Menyoal produk kebijakan walikota dan wakil walikota, Sugeng menilai Bima bukanlah pimpinan yang kuat dan bernyali. “KKarena, terminal kota justru tidak terurus, kumuh, tidak sehat , dan pemerintah kota bagaikan tidak hadir disana untuk memberikan hak warga atas terminal yang indah, fungsional. Padahal, tidak jauh dari lokasi tersebut, ada keindahan lawang sembilan yang hanya berjarak 200 meter,” tuturnya.
Sugeng juga mengkritisi tidak optimalnya peran pemkot mengantisipasi bencana alam yang berpotensi pada keselamatan warga. “Horor setiap saat menghantui warga miskin kota yang mendiami lereng-lereng kota, dan terancam tertimbun longsor pada musim hujan. Tindakan minimal untuk membuat aman terhadap warga, sejauh ini belum dilakukan. Seperti memperkuat turap lerengan,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, Pemkot Bogor dan DPRD dinilainya belum membuat produk payung hukum perda untuk memastikan kota yang ramah Hak Azasi Manusia (HAM), penyandang disabilitas hingga kota ramah anak dan wanita.
“Kasus angkahong buat saya juga menunjukkan lemahnya kepemimpinan walikota dalam sisi pengelolaan administrasi pemerintahan yang taat hukum. Meledaknya kasus korupsi Angkahong (red. Jambu Dua) juga menunjukkan lemahnya kepemimpinan dan kemampuan kordinatif walikota atas Organisasi Perangkat Daerah (OPD), juga DPRD. Catatan pleger harus diselesaikan secara hukum oleh walikota. Agar status pleger tersebut bisa ditinjau oleh MA sehingga kinerja walikota tidak terhambat masalah hukum,” tuntasnya.